Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Keliru, Klaim bahwa Putusan MK 60 dan 70 Tentang Syarat Pencalonan Pilkada Ambil Alih Fungsi DPR

Senin, 23 September 2024 20:06 WIB

Keliru, Klaim bahwa Putusan MK 60 dan 70 Tentang Syarat Pencalonan Pilkada Ambil Alih Fungsi DPR

Sebuah konten beredar di Facebook [Arsip] dan ini yang menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang syarat pencalonan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) telah merebut fungsi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah RI. Sebab menurut konten tersebut, MK dibentuk bukan untuk membuat Undang-undang (UU).

Narasi tersebut beredar di tengah aksi mengawal putusan Mahkamah Konstitusi pada 22 Agustus 2024. Berikut bunyi sebagian narasi tersebut: Kekacauan yang terjadi saat ini adalah bahwa MK mengambil alih fungsi DPR, nah disini kacaunya, tapi orang orang malas berpikir itu jadi korban dari para politisi yang diuntungkan. Bos..MK dibentuk oleh Negara bukan untuk membuat Undang-undang pun pasal pasal ? Yang membuat Undang undang itu sebagai norma hukum untuk hidup dalam berbangsa dan bernegara itu adalah tugas DPR bersama pemerintah.

Namun, benarkah putusan MK tentang syarat pencalonan Pilkada telah merebut fungsi DPR?

PEMERIKSAAN FAKTA

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Bandung, Profesor Susi Dwi Harijanti, menjelaskan dua putusan MK yang dikawal demonstran, yakni Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024, memang layak diambil MK.

Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 menyetujui partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu bisa mendaftarkan calon kepala daerah untuk Pilkada, walau tidak punya kursi di DPRD. Asalkan mereka mendapat suara sah dalam Pileg DPRD sebelumnya, dalam batas jumlah minimal tertentu.

Menurut Susi, putusan tersebut membentuk norma baru sebagaimana yang biasa dilakukan DPR yang memiliki fungsi legislasi. Namun dikatakannya, secara teori hal itu wajar dilakukan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dalam konsep separation of power atau Trias Politika.

Dalam konteks putusan di atas, Susi melihat MK sedang menjalankan fungsi hak veto dalam bentuk keputusan (the veto-force) dan the guardian of constitution atau penjaga konstitusi. Fungsi MK lainnya dalam teori hukum adalah the public-reasoner, the institutional interlocutor, dan deliberator.

“Jadi kalau misalkan dia melakukan fungsinya sebagai veto forces itu, maka itulah yang saya katakan, mungkin dalam rangka dia counterbalance, fungsi check and balances, kemudian dia bisa membuat norma baru, dia bisa menjadi positive legislator,” kata Susi pada Tempo melalui telepon, 19 September 2024.

Menurutnya MK sebagai penjaga konstitusi harus mengimbangi kekuatan-kekuatan lain dalam pemerintahan, untuk mencegah kesewenang-wenangan baru. Termasuk mengoreksi aturan yang tidak obyektif, mengingat undang-undang di Indonesia disusun menggunakan nalar politik.

Sementara Nomor 70/PUU-XXII/2024 menyebutkan syarat usia cagub dan cawagub harus berumur 30 tahun saat disahkan sebagai calon oleh KPU. Susi menyatakan putusan ini tidak membuat norma baru dan tidak mengambil alih fungsi DPR.

“Kalau putusan 70 menurut saya dia tidak membuat norma baru, tetapi dia memberikan tafsir, dan tafsir yang digunakan itu adalah tafsir sejarah, sistematis, praktik selama ini, serta perbandingan,” kata Susi lagi.

Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan dalam putusan bernomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024 tentang syarat pencalonan dalam Pilkada, MK tidak mengambil alih kewenangan DPR.

Dia mengatakan, dua putusan itu memperlihatkan MK melakukan judicial activism atau responsif judicial review. MK menafsirkan konstitusi untuk diletakkan dalam konteks norma dalam undang-undang.

“Yang perlu diluruskan adalah, MK, baik dalam putusan 60 yang ambang batas pencalonan kepala daerah maupun putusan 70 yang kapan dihitungnya batas usia calon gubernur, itu di keduanya sebetulnya MK tidak membuat undang-undang,” kata Bivitri melalui pesan, Kamis, 12 September 2024.

Misalnya dalam putusan 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah syarat parpol atau gabungan parpol mengusung calon kepala daerah dalam Pilkada, yang ditetapkan berdasarkan undang-undang yang membahas syarat calon independen.

Menurut Bivitri hal itu membuktikan MK menyusun putusan tersebut berdasarkan undang-undang, bukan membuat undang-undang baru. Hal itu juga selaras dengan logika demokrasi di mana basis data yang digunakan adalah jumlah suara rakyat, bukan kursi yang dimiliki partai politik.

Dia mengatakan praktik responsif judicial review di Indonesia oleh MK telah dilakukan sejak tahun 2008, yang artinya telah memperoleh penerimaan selama lebih dari 15 tahun. Selain itu, secara teori dan doktrin telah diterima di berbagai negara.

Bivitri juga menjelaskan bahwa secara literatur, judicial activism atau responsif judicial review biasanya dilakukan lembaga seperti MK, di negara-negara yang demokrasinya menurun ataupun sistem politiknya terkunci oleh kepentingan-kepentingan politik. 

“Bahkan sudah ada literatur yang membahasnya, kita bisa melihat literatur tentang judicial activism. Jadi yudikatif (lembaga seperti MK) aktif membenahi keputusan-keputusan politik, yang sebetulnya memang sering kali inkonstitusional karena kepentingan dari politikus,” kata dia lagi.

Bivitri juga mengatakan dalam setiap peristiwa politik seperti demonstrasi Kawal Putusan MK, pasti ada pihak atau kelompok politik yang diuntungkan. Namun aksi demonstrasi di berbagai daerah itu sesungguhnya berfokus pada mencegah penyalahgunaan wewenang DPR, yang ingin mengubah UU Pilkada yang tidak sesuai dengan putusan MK.

Hal itu membantah narasi yang beredar yang mengatakan aksi demonstrasi Kawal Putusan MK hanya menguntungkan elit politik. Narasi itu juga telah terbantah dalam artikel cek fakta Tempo lainnya.

Bivitri menyimpulkan bahwa MK melalui dua putusan tersebut, berupaya menjalankan tugasnya sebagai penjaga konstitusi. Menurut konstitusi pula, DPR tidak boleh berpaling dari putusan-putusan MK.

“Kita tidak menganut supremasi wakil rakyat, tapi supremasi konstitusi. Kalau konstitusi bilang MK tugasnya menjaga konstitusi dengan meluruskan undang-undang yang memang tidak sesuai dengan konstitusi (dalam UUD 1945), ya DPR harus nurut. Itulah cara berkonstitusi,” kata Bivitri lagi.

KESIMPULAN

Verifikasi Tempo menyimpulkan narasi yang mengatakan melalui putusan bernomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024 telah mengambil alih kewenangan DPR dan demonstrasi Kawal Putusan MK merupakan korban elit politik tertentu, adalah klaim keliru.

Sesungguhnya MK dalam dua putusan itu tidak mengambil alih kewenangan DPR. MK dalam dua putusan itu, berupaya agar penyelenggaraan pencalonan dalam Pilkada sesuai dengan rel konstitusi.

TIM CEK FAKTA TEMPO

** Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id