Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

[Fakta atau Hoaks] Benarkah Polri Melarang Pihak Rumah Sakit Melakukan Autopsi Terhadap Jasad Petugas KPPS?

Senin, 13 Mei 2019 07:32 WIB

[Fakta atau Hoaks] Benarkah Polri Melarang Pihak Rumah Sakit Melakukan Autopsi Terhadap Jasad Petugas KPPS?

Akun Akmal membagikan narasi di jejaring sosial Facebook bahwa Polri melarang pihak rumah sakit melakukan tindakan autopsi terhadap jasad petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Larangan yang sama, kata Akmal, juga berlaku untuk jasad para saksi dan pengawas.

Sebuah akun Facebook mengunggah pernyataan bahwa Polri melarang autopsi pada jasad petugas KPPS yang meninggal dunia.

Sejak diunggah pada Jumat, 3 Mei 2019, informasi itu telah mendapat 696 komentar dan 19 ribu kali dibagikan akun lainnya.

 

PEMERIKSAAN FAKTA

Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum, terdapat setidaknya 554 petugas pemilu 2019 yang dilaporkan meninggal dunia. Selain itu, 3.778 petugas pemilu jatuh sakit.

Desakan agar kasus kematian ratusan petugas Pemilu 2019 diusut oleh pihak berwajib datang dari sejumlah pihak, termasuk capres nomor urut 02 Prabowo Subianto. Dia meminta para petugas yang meninggal dunia divisum. BPN Prabowo-Sandi pun meminta ada autopsi.

Gabungan sejumlah dokter dan ahli hukum yang menamakan diri Komunitas Kesehatan Peduli Bangsa juga mendesak dilakukan autopsi terhadap jasad petugas Pemilu 2019 yang meninggal dunia.  Anggota komunitas itu, advokat Elza Syarief menilai kasus meninggalnya ratusan petugas KPPS tidak bisa begitu saja disimpulkan karena kelelahan.

"Kalau memang pernyataan yang kita dengar, itu masalah kelelahan, semua orang lelah, semua orang punya penyakit, tapi harus diinvestigasi,” ujar Elza pada Kamis, 9 Mei 2019, kemarin.

Komunitas Kesehatan Peduli Bangsa juga mendesak pemerintah menyatakan hari berkabung nasional dengan memasang bendera merah putih setengah tiang, sampai 22 Mei 2019 mendatang. Desakan tersebut dikatakan oleh salah satu pengagas Komunitas Kesehatan Peduli Bangsa, Dr. Zulkifli.

"Dan menuntut pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang independen," ucap dia.

Zulkifli menegaskan meninggalnya 500-an petugas pemilu, yang mayoritas petugas KPPS, bisa disebut sebagai "bencana kesehatan nasional." 

Melalui media, pihak Polri menanggapi desakan pihak-pihak yang meminta jasad-jasad petugas KPPS diautopsi. Polri mengatakan tindakan autopsi harus berdasarkan fakta hukum dan kesediaan pihak keluarga dari jasad yang hendak diautopsi. 

"Polri bekerja sesuai fakta hukum. Kalau nggak ada fakta hukumnya, dari pihak keluarga juga tidak ada merasakan adanya hal-hal yang mencurigakan, kejanggalan, apa yang mau diautopsi?" kata Karo Penmas Brigjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat, 10 Mei 2019.

Dedi menuturkan autopsi adalah tindakan medis yang dilakukan untuk membuat terang suatu hal yang tak jelas dan terindikasi ada permasalahan hukumnya. Dia memberi contoh misalnya seseorang tewas diduga karena dianiaya atau dibunuh.

"Nah dalam kondisi seperti itulah yang perlu dilakukan kajian. Jadi semua berdasarkan fakta hukum dulu yang komprehensif, baru Polri ada landasannya untuk bertindak. Kalau misalnya fakta hukum belum clear, tidak akan bertindak," jelas Dedi.

Laman Tempo.co melaporkan, Kementerian Kesehatan melalui siaran pers pada Ahad, 12 Mei 2019, mengumumkan ada 13 jenis penyakit penyebab meninggalnya petugas KPPS di 15 provinsi.

Tiga belas penyakit tersebut adalah infarct myocard, gagal jantung, koma hepatikum, stroke, respiratory failure, hipertensi emergency, meningitis, sepsis, asma, diabetes melitus, gagal ginjal, TBC, dan kegagalan multiorgan.

Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan di 15 provinsi, kebanyakan petugas KPPS yang meninggal berada di rentang usia 50-59 tahun.

Jumlah korban meninggal di DKI Jakarta 22 jiwa, Jawa Barat 131 jiwa, Jawa Tengah 44 jiwa, Jawa Timur 60 jiwa, Banten 16 jiwa, Bengkulu tujuh jiwa, Kepulauan Riau tiga jiwa, Bali dua jiwa, Kalimantan Selatan delapan jiwa, Kalimantan Tengah tiga jiwa, Kalimantan Timur tujuh jiwa, Sulawesi Tenggara enam jiwa, Gorontalo tidak ada, Kalimantan Selatan 66 jiwa, dan Sulawesi Utara dua jiwa.

Laporan investigasi Dinas Kesehatan menyebutkan korban meninggal dari DKI Jakarta disebabkan oleh Infarc Miocard, gagal jantung, koma hepatikum, stroke, respiratory failure, dan meningitis.

Sedangkan di Jawa Barat, disebabkan oleh gagal jantung, stroke, respiratory failure, sepsis, dan asma. Ada pun di Kepulauan Riau, meninggalnya petugas penyelenggara pemilu disebabkan oleh gagal jantung, kecelakaan, dan di Sulawesi Tenggara disebabkan oleh kecelakaan.

 

KESIMPULAN

Berdasarkan semua bukti yang ada, tindakan autopsi baru akan dilakukan Polri bila ada fakta hukum jelas atau bila ada permintaan keluarga karena merasa kematian yang bersangkutan mencurigakan. Namun, sikap Polri kemudian diletakkan dalam konteks keliru yakni peracunan, sehingga akun Akmal menciptakan narasi menyesatkan seolah Polri mau menutup-nutupi penyebab kematian petugas KPPS.

 

ZAINAL ISHAQ