Keliru, Pernyataan Bambang Soesatyo soal Oposisi Tidak Diperlukan dalam Pemerintahan
Jumat, 7 Juni 2024 19:46 WIB
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo (Bamsoet), mengatakan bahwa sistem check and balance dalam pemerintahan akan lebih mudah dilakukan tanpa keberadaan oposisi. Menurutnya, yang dibutuhkan dalam pemerintahan baru adalah demokrasi gotong royong.
"Dan enggak dibutuhkan lagi oposisi. Saya mendukung Pak Prabowo merangkul semua parpol untuk bersatu membangun bangsa ini kedepan," kata Bamsoet, 11 April 2024. Sebagai pemenang pilpres, Prabowo dinilai memiliki tanggung jawab untuk merangkul semua partai politik untuk masuk ke dalam pemerintahan. Akan tetapi, bukan berarti tidak akan ada sistem check and balance.
"Lebih gampang (check and balance) justru. Karena kan kalau oposisi bicara pride. Kadang lari dari substansi, tapi kalau satu koalisi bisa bicara dari hati ke hati dan lebih baik untuk masyarakat," ujar dia.
Benarkah pendapat Bamsoet bahwa pemerintahan akan tetap berjalan baik melalui sistem check and balance tanpa adanya oposisi?
PEMERIKSAAN KLAIM
Dosen ilmu pemerintahan dari Universitas Jenderal Achmad Yani, Cimahi, Jawa Barat, Yohanes Sulaiman mengatakan bahwa pernyataan Bambang mengenai oposisi tidak lagi dibutuhkan jelas salah. Menurutnya, tidak akan ada yang berani mengkritik pemerintah apabila tidak ada oposisi dan semua partai politik ada dalam pemerintahan.
Menurut studi politik, partai oposisi merupakan instrumen penting dalam sistem politik hukum yang terjadi di parlemen atau di lembaga legislatif. Kritik dari oposisi dapat memberikan pandangan alternatif terhadap kebijakan pemerintah yang kiranya bermasalah.
Suatu negara demokrasi seperti Indonesia tidak memiliki kekuatan oposisi mengandung risiko, yakni akan lahir kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat. Alhasil, kebijakan-kebijakan hanya melayani kepentingan penguasa. “Selain itu, absennya kubu oposisi akan membuat praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) semakin tidak terkontrol,” ujarnya.
Yohanes menambahkan, saat ini, partai politik yang berada di luar pemerintah hanyalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Selama beberapa tahun terakhir pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, kita bisa lihat bagaimana partai-partai koalisi pemerintah justru mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah yang kontroversial, seperti Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
Sementara itu, partai oposisi yang jumlah kursinya saja tidak mayoritas di parlemen tidak punya cukup kekuatan untuk menentang atau melawannya. Pihak yang berteriak dan mengkritik justru adalah publik.
Lalu pertanyaannya, apa gunanya partai politik jika semua tidak ada yang berani mengkritik pemerintah dan hanya mementingkan posisi dalam kabinet?
Pada periode pemerintahan berikutnya, kemungkinan besar hanya PKS dan PDIP yang akan menjadi oposisi. Ini saja sebetulnya tidak cukup secara kekuatan di parlemen. “Idealnya, kubu pemerintah jangan sampai menguasai kursi mayoritas 67%, karena jika mencapai persentase tersebut, UU dan aturan bermasalah bisa mudah digolkan tanpa mempedulikan suara oposisi,” kata dia.
Yohanes menegaskan, tanpa adanya oposisi, tidak akan ada check and balance dalam tata kelola pemerintahan. Pemerintah akan menjadi korup, otoriter, dan sewenang-wenang, dan demokrasi hanya akan jadi formalitas ala Orde Baru.
KESIMPULAN
Klaim Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo (Bamsoet) bahwa sistem check and balance dalam pemerintahan akan lebih mudah dilakukan tanpa keberadaan oposisi, adalah keliru.
Pemerintahan tanpa oposisi akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat dan hanya melayani kepentingan penguasa. Absennya kubu oposisi akan membuat praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) semakin tidak terkontrol.
**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email [email protected]
Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI)