Keliru, Penyakit yang Dirasakan Masyarakat Saat Ini Disebabkan oleh Modifikasi Cuaca
Kamis, 9 Januari 2025 18:33 WIB
Sebuah konten beredar di Instagram [arsip] dan X [arsip] yang menyatakan penyakit yang dirasakan masyarakat saat ini adalah chemtrail, efek dari modifikasi cuaca. Gambar itu memperlihatkan pesawat terbang dan jejak putih di belakangnya, serta orang-orang yang mengangkat tangan di bawahnya. Hal itu menggambarkan rumor tentang adanya chemtrail dari pesawat yang diklaim membahayakan kesehatan.
Dikatakan jejak pesawat chemtrail itu adalah upaya modifikasi cuaca yang juga menyebabkan masyarakat menjadi sakit. “Jangan terus-terusan lihat gadget, lihatlah ke atas perhatikan ada apa di langit.”
Namun, benarkah jejak pesawat adalah alat modifikasi cuaca yang merugikan kesehatan manusia?
PEMERIKSAAN FAKTA
Hasil verifikasi Tim Cek Fakta Tempo, modifikasi cuaca yang dilakukan selama ini di Indonesia aman bagi kesehatan manusia.
Perekayasa Ahli Muda Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA) BRIN dari kelompok riset fisika awan dan aplikasinya (FAA), Purwadi, mengatakan modifikasi cuaca tidak menggunakan chemtrail.
Modifikasi cuaca di Indonesia menggunakan bahan semai berupa serbuk garam (NaCl), juga flare yang lebih jarang digunakan. Operasi modifikasi cuaca (OMC) di Indonesia dilakukan saat-saat tertentu sesuai dengan tujuannya, yakni untuk mengurangi atau menambah curah hujan.
“OMC untuk menambah curah hujan umumnya digunakan untuk menjaga pasokan air waduk irigasi/PLTA, mencegah dan menanggulangi karhutla, membasahi lahan gambut, pengairan dan lain-lain. Sedangkan pengurangan curah hujan dilakukan untuk pencegahan banjir, mengurangi curah hujan pada tambang dan untuk dukungan acara-acara kenegaraan,” kata Purwadi melalui keterangan tertulis, 8 Januari 2025.
Dia juga menjelaskan metode penyemaian awan untuk OMC, yang dilakukan di Indonesia mengikuti prosedur standar Badan Meteorologi Dunia (WMO) serta memperhatikan saran dan dalam pengawasan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) RI.
Penaburan garam bahan semai di udara untuk OMC dilakukan pesawat yang mampu mengangkut 800 kilogram sampai 4 ton. Garam bahan semai itu sama dengan garam dapur. Garam yang ditebar itu akan menjadi inti pembentukan tetes-tetes hujan pada awan, yang dapat memicu terjadinya hujan.
Meskipun garam yang ditebar jumlahnya bisa mencapai 4 ton, namun konsentrasi inti kondensasi ini jauh lebih sedikit dari volume awan maupun volume air hujan yang dihasilkan. Jadi kandungan garam pada air hujan di awan yang disemai tersebut sangat kecil, dan tidak mempengaruhi makhluk hidup yang terkena air hujan tersebut.
Purwadi juga menjelaskan riset terkait dampak lingkungan dari OMC sudah banyak dilakukan, beberapa di antaranya dilakukan oleh peneliti BRIN. Hasil penelitian-penelitian itu menunjukkan bahwa air hujan hasil penyemaian awan tidak berdampak pada lingkungan dan aman bagi manusia.
“OMC menjadi salah satu usaha yang cukup baik dalam menambah curah hujan yang dapat menekan terjadinya kebakaran hutan dan lahan serta menambah pasokan air waduk,” ujar Purwadi.
Dilansir Tempo 18 Februari 2022, Plt Deputi Bidang Klimatologi BMKG yang saat itu dijabat Urip Haryoko, mengatakan bahwa narasi tentang chemtrail yang beredar digolongkan sebagai teori konspirasi.
Teori itu menyatakan jejak asap putih di belakang pesawat adalah bahan kimia yang berbahaya. Nama chemtrail dipilih dari akronim chemistry (kimia) dan trail (jejak). Namun tuduhan bahwa jejak pesawat berupa asap putih membahayakan, tidak memiliki bukti.
Di sisi lain, laporan ilmiah dalam Journal of Geography, Environment and Earth Science International (2020), menyatakan hingga kini belum ada bukti ilmiah atas tudingan jejak asap yang dikeluarkan dari emisi pesawat terbang bersifat berbahaya.
Sebanyak 76 orang dari 77 ilmuwan yang melakukan penelitian, mengatakan mereka tidak menemukan bukti adanya program skala besar dan bersifat rahasia di ruang atmosfer, yang menggunakan cara yang disebut chemtrail tersebut.
Dampak Cuaca pada Kesehatan
Chemtrail tidak digunakan untuk OMC di Indonesia dan teori konspirasinya tidak memiliki bukti nyata. Namun, perubahan cuaca pada level tertentu bisa berdampak negatif pada kesehatan manusia.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Prof Zubairi Djoerban, menjelaskan bahwa cuaca buruk pada level tertentu di Indonesia berpotensi menyebabkan atau memperparah sakit pada masyarakat.
Misalnya saat musim hujan di Indonesia seperti saat ini, yang perlu diwaspadai adalah meningkatnya risiko sakit tenggorokan, leptospirosis/leptospira, diare, dan demam berdarah.
Sementara saat musim panas, risiko yang naik adalah dehidrasi, pusing, lelah, biang keringat, gatal-gatal, dan batuk pilek (batuk pilek biasa yang bukan influenza, AMPV maupun Covid-19), hingga memicu stroke.
“Musim hujan di Indonesia kalau untuk HMPV no (tidak meningkat), jadi tidak akan jadi masalah. Kalau untuk menjadi masalah pernafasan lain (yang risikonya meningkat) juga mengenai batuk pilek bisa, namun yang bisa muncul di musim hujan ini misalnya leptospira ataupun penyakit saluran nafas yang lain, diare bisa, demam berdarah bisa naik sedikit,” kata Prof Zubairi melalui pesan suara, 7 Januari 2025.
Ia membahas kondisi dan cara pencegahan penyakit-penyakit itu satu per satu, sebagai berikut:
Musim Hujan
- Sakit tenggorokan: Kita harus sering cuci tangan, kemudian kalau berkumpul dengan banyak orang disarankan pakai masker dulu, tidak wajib tapi perlu.
- Leptospira: Penularannya melalui urin hewan yang terinfeksi, tikus misalnya. Jadi memang kita perlu menjaga kebersihan dan genangan air akibat hujan, akibat banjir, harus segera diatasi.
- Diare: Kita harus baik-baik menjaga makanan kita, jadi jangan sampai terinfeksi. Untuk diare ini (cara mencegahnya) ya menjaga makanan, baik piringnya, baik makanannya, kemudian cara memasaknya.
- Demam berdarah: Sudah banyak dibahas mengenai menghilangkan jentik-jentik dan seterusnya.
Cuaca Panas
Cuaca panas yang perlu diwaspadai, menurut Prof Zubairi adalah ketika suhunya mencapai 39 derajat Celcius atau lebih. Namun, ada kalanya prakiraan cuaca menyatakan suhu sebuah tempat di angka 32 derajat Celcius, namun di sana suhunya terasa panas mencapai 39 derajat Celcius. Kondisi ini juga sebaiknya diwaspadai.
Dia juga mengatakan bahwa dalam suhu yang tinggi sekali, pada beberapa orang bisa menyebabkan stroke, terutama untuk orang-orang usia lanjut. Untuk menghindarinya masyarakat harus sering minum.
“Kemudian mengkonsumsi buah dan sayur saat musim panas, musim hujan, musim apapun, usahakan tiga kali sehari makan buah, tiga kali sehari makan sayur. Kemudian kita perlu menghindari paparan sinar Matahari langsung,” kata Prof Zubairi lagi.
Upaya mengurangi paparan sinar Matahari bisa dilakukan dengan mengenakan topi, memakai payung, tidak terlalu lama di luar ruangan. Saat sudah terlalu lama di luar, disarankan mencari tempat yang teduh, di bawah pohon atau masuk sebentar di ruang ber-AC yang ada di mall atau di toko swalayan.
Baik juga memakai pelembab kulit. Cara berpakaian juga bisa membantu seseorang menghindari tubuh terpapar panas terlalu banyak, yakni dengan mengenakan pakaian yang warna muda atau cerah, misalkan yang putih, dan menghindari warna gelap. Kemudian pakai baju yang agak longgar, tidak yang ketat.
“Cuaca panas tinggi bisa menyebabkan stroke, tidak menyebabkan penyakit jantung, tidak menyebabkan ginjal, tidak menyebabkan kanker, namun bisa memperberat penyakit-penyakit tersebut,” kata Prof Zubairi lagi.
KESIMPULAN
Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa narasi yang mengatakan bahwa penyakit yang dirasakan masyarakat saat ini disebabkan oleh chemtrail modifikasi cuaca adalah klaim yang keliru.
Teori yang menyatakan adanya chemtrail untuk memodifikasi cuaca dan merugikan kesehatan masyarakat tidak memiliki bukti. Sementara modifikasi cuaca di Indonesia dilakukan pada waktu-waktu tertentu sesuai tujuan, yang sebagian besar dilakukan dengan cara penaburan garam bahan semai.
TIM CEK FAKTA TEMPO
**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email [email protected]