[Fakta atau Hoaks] Benarkah Klaim-klaim soal Covid-19 oleh Aliansi Dokter Dunia di Video Ini?
Selasa, 27 Oktober 2020 21:00 WIB
Video yang berisi klaim-klaim seputar Covid-19 yang dilontarkan oleh sekumpulan dokter yang menamakan diri sebagai World Doctors Alliance atau Aliansi Dokter Dunia viral. Menurut para dokter yang berbasis di Eropa itu, Covid-19 adalah flu biasa. Mereka juga mengklaim tidak ada pandemi Covid-19.
Dalam video berdurasi sekitar 9 menit tersebut, salah satu dokter menyatakan bahwa tes polymerase chain reaction (PCR) memunculkan hasil positif palsu pada 89-94 persen kasus Covid-19. Ada pula dokter yang mengatakan bahwa penderita Covid-19 bisa dirawat dengan steroid, hydroxychloroquine, dan zinc.
Di Instagram, video itu dibagikan salah satunya oleh akun @pongrekundharma88, tepatnya pada 25 Oktober 2020. Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun tersebut telah ditonton lebih dari 16 ribu kali. Selain di Instagram, video ini juga banyak dibagikan di Facebook serta YouTube.
Bagaimana kebenaran klaim-klaim terkait Covid-19 oleh Aliansi Dokter Dunia dalam video tersebut?
PEMERIKSAAN FAKTA
Dilansir dari organisasi cek fakta Amerika Serikat FactCheck, Aliansi Dokter Dunia baru dibentuk pada 10 Oktober 2020. Video asli yang berisi klaim-klaim terkait Covid-19 di atas, sekaligus pembentukan aliansi ini, berdurasi sekitar 18 menit. Video itu sempat diunggah di YouTube. Namun, YouTube telah menghapus video itu karena melanggar aturan platform.
Dikutip dari Detik.com, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam menyebut Aliansi Dokter Dunia itu sebagai organisasi jadi-jadian. Sebagai orang yang telah lama malang-melintang di berbagai organisasi kedokteran, ia tidak pernah mengenal organisasi tersebut. "Kalau di dunia itu kan ada misalnya, di bidang penyakit dalam, International Society of Internal Medicine. Kemudian, World Medical Association," katanya.
Ari menyatakan tidak pernah mengetahui para dokter dalam Aliansi Dokter Dunia tersebut tergabung dalam organisasi kedokteran, baik organisasi dokter dunia maupun organisasi dokter penyakit dalam dunia. Selain itu, Ari menegaskan bahwa klaim-klaim yang disampaikan Aliansi Dokter Dunia dalam video yang viral itu tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
Untuk memeriksa klaim yang dilontarkan oleh Aliansi Dokter Dunia tersebut, Tim CekFakta Tempo mengutip sejumlah pemberitaan dan hasil pemeriksaan fakta oleh berbagai organisasi cek fakta.
Klaim 1: Tidak ada pandemi Covid-19
Fakta:
Menurut arsip artikel cek fakta Tempo pada 18 Juni 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi pada 11 Maret 2020. Penetapan ini didasarkan pada hasil penilaian WHO terhadap tingkat sebaran dan jumlah korban yang kian meningkat sejak kasus pertama diumumkan di Wuhan, Cina, pada akhir Desember 2019. Saat itu, menurut WHO, terdapat lebih dari 118.000 kasus Covid-19 di 114 negara, dan 4.291 orang di antaranya meninggal.
Secara teori, Covid-19 pun telah memenuhi kriteria sebagai pandemi. Pandemi merujuk pada penyakit yang menyebar ke banyak orang di beberapa negara dalam waktu yang bersamaan. Kasus Covid-19 meningkat secara signifikan secara global. Ciri-ciri pandemi adalah sebagai berikut: merupakan jenis virus baru, dapat menginfeksi banyak orang dengan mudah, dan bisa menyebar antar manusia secara efisien. Covid-19 memiliki tiga karakteristik tersebut.
Sebelum menaikkan status Covid-19 ke pandemi, WHO juga terlebih dulu menetapkan Covid-19 sebagai wabah penyakit pada 5 Januari 2020. Kemudian, pada 30 Januari 2020, WHO memperingatkan bahwa Covid-19 mengancam secara global menyusul laporan bahwa telah ada 7.818 kasus Covid-19, baik di Cina maupun di 18 negara lainnya. Pada 31 Januari 2020, WHO mengumumkan penyebaran Covid-19 sebagai Darurat Kesehatan Masyarakat Internasional (PHEIC).
Klaim 2: Tes PCR memunculkan hasil positif palsu pada 89-94 persen kasus Covid-19
Fakta:
Positif palsu terjadi ketika seseorang tidak terinfeksi Covid-19, namun dinyatakan positif. Dilansir dari FactCheck, hingga kini, angka positif palsu tes PCR Covid-19 masih diteliti lebih lanjut. Namun, studi pendahuluan menunjukkan bahwa angka positif palsu tes ini jauh lebih kecil ketimbang klaim di atas.
Menurut sebuah studi yang terbit baru-baru ini di The Lancet Resporatory Medicine, di Inggris, angka positif palsu berada di kisaran 0,8-4 persen. Sementara angka negatif palsu, ketika seseorang terinfeksi Covid-19 tapi dinyatakan negatif, mencapai 33 persen.
Dikutip dari Associated Press (AP), Michael Joseph Mina, dokter dan profesor epidemiologi di sekolah kesehatan masyarakat Harvard, mengatakan tidak benar bahwa sebagian besar tes PCR Covid-19 memberikan hasil positif palsu dan tidak menguji virus Corona penyebab Covid-19.
“Banyak yang terlambat positif, yang berarti RNA masih ada tapi virus yang hidup telah hilang,” kata Mina. “Jadi, orang-orang ini kemungkinan sudah tidak menularkan lagi, tapi hasilnya akurat, PCR dapat mendeteksi RNA SARS-CoV-2 (virus Corona baru penyebab Covid)," ujarnya.
Klaim 3: Covid-19 adalah flu biasa
Fakta:
Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit AS (CDC) menyatakan flu dan Covid-19 merupakan penyakit pernapasan yang menular, tapi disebabkan oleh virus yang berbeda. Covid-19 disebabkan oleh infeksi SARS-CoV-2 dan flu disebabkan oleh infeksi virus influenza. Selain itu, sejauh ini, Covid-19 menyebar lebih mudah daripada flu dan menyebabkan penyakit yang lebih serius pada beberapa orang.
Covid-19 juga bisa membutuhkan waktu yang lebih lama sebelum orang yang terinfeksi menunjukkan gejala. Menurut CDC, meskipun sebagian besar penderita Covid-19 memiliki gejala ringan, tapi penyakit ini juga dapat menyebabkan komplikasi yang parah bahkan kematian. Perbedaan penting lainnya, terdapat vaksin untuk melindungi diri dari flu. Sementara untuk Covid-19, saat ini, belum ada vaksinnya.
Menurut arsip artikel cek fakta Tempo pada 21 Oktober 2020, berdasarkan data WHO, tingkat kematian Covid-19 lebih tinggi daripada flu, meskipun tingkat kematian Covid-19 yang sebenarnya masih perlu diikuti lebih jauh. Hingga kini, data WHO menunjukkan rasio kematian kasar (jumlah kematian yang dilaporkan dibanding kasus yang dilaporkan) adalah sekitar 3-4 persen. Sedangkan flu musiman, angka kematiannya di bawah 0,1 persen.
Laporan John Hopkins University menyebut kematian akibat Covid-19 di seluruh dunia mencapai 1.118.635 orang. Sementara di Amerika Serikat, sebanyak 220.133 orang telah meninggal karena Covid-19 sepanjang Januari hingga 20 Oktober 2020. Sedangkan kematian karena flu di seluruh dunia, menurut WHO, diperkirakan sekitar 290 ribu-650 ribu orang setiap tahun.
Klaim 4: Virus Corona penyebab Covid-19 adalah virus musiman, yang menyebabkan penyakit pada Desember-April. Bagi orang yang memiliki gejala tersebut, terdapat perawatan seperti menghirup steroid, hydroxychloroquine, dan zinc.
Fakta:
Dilansir dari Live Science, Covid-19 bisa menjadi penyakit musiman seperti flu, tapi ketika populasi telah mencapai herd immunity, yang berarti sudah cukup banyak orang yang kebal untuh mencegah penyebaran virus secara konstan. Hingga saat itu tiba, menurut sebuah studi di jurnal Frontiers in Public Health pada 15 September 2020, Covid-19 kemungkinan menyebar sepanjang tahun.
"Covid-19 akan bertahan dan akan terus menyebabkan wabah sepanjang tahun sampai herd immunity tercapai," kata penulis senior studi tersebut, Hassan Zaraket, yang juga merupakan asisten profesor virolofi di American University of Beiru, Lebanon. Karena itu, masyarakat harus terus mempraktikkan tindakan pencegahan terbaik, termasuk memakai masker dan menjaga jarak fisik.
Dikutip dari The Jakarta Post, pada Juli 2020, juru bicara WHO Margaret Harris menyatakan bahwa penyebaran Covid-19 kemungkinan tidak dipengaruhi oleh musim. Dia menunjukkan beberapa negara yang paling terpukul karena Covid-19 saat ini tengah mengalami musim yang berbeda-beda.
Pada pertengahan 2020, AS mengalami musim panas, namun telah mencatatkan hampir 4,3 juta kasus Covid-19 dengan sekitar 148 ribu kematian. Di waktu yang sama, Brasil, sedang mengalami musim dingin, namun telah mencatatkan lebih dari 87 ribu kematian.
Terkait steroid sebagai perawatan bagi pasien Covid-19, dilansir dari Kompas.com, WHO merekomendasikannya hanya untuk pasien dengan gejala yang parah dan kritis. Obat ini tidak dianjurkan untuk digunakan pada pasien dengan gejala yang ringan.
Soal hydroxychloroquine, obat tersebut sempat dikaji oleh WHO untuk digunakan pada pasien Covid-19. Namun, saat ini, penggunaan hydroxychloroquine sedang dihentikan sementara sembari menunggu kajian data lebih lanjut soal keamanannya. Meskipun hydroxychloroquine dan chloroquine merupakan produk yang terdaftar untuk pengobatan penyakit lain, kedua obat ini belum terbukti efektif dalam mengobati Covid-19.
Sebagai contoh, sebuah penelitian observasional yang diterbitkan di The Lancet pada 22 Mei 2020 menemukan, di antara 100 ribu pasien dari berbagai negara yang dipilih secara acak untuk menerima hydroxychloroquine, didapat angka kematian yang lebih tinggi dan peningkatan frekuensi detak jantung yang tidak teratur.
Adapun zinc, dilansir dari situs kesehatan Klik Dokter, merupakan salah satu mineral yang bisa meningkatkan sistem imun atau kekebalan tubuh seseorang. Namun, manfaat zinc dan hubungannya dengan penderita Covid-19 masih memerlukan penelitian lanjutan.
KESIMPULAN
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim-klaim terkait Covid-19 oleh Aliansi Dokter Dunia dalam video di atas keliru. Empat klaim, mulai dari "tidak ada pandemi Covid-19", "tes PCR memunculkan hasil positif palsu pada 89-94 persen kasus Covid-19", "Covid-19 adalah flu biasa", hingga "virus Corona penyebab Covid-19 adalah virus musiman dan bisa dirawat dengan steroid, hydroxychloroquine, serta zinc", tidak akurat.
SITI AISAH | ANGELINA ANJAR SAWITRI
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id