[Fakta atau Hoaks] Benarkah Klaim-klaim Hadi Pranoto dalam Video Milik Anji Ini?
Senin, 3 Agustus 2020 17:55 WIB
Musisi Erdian Aji Prihartanto alias Anji mengunggah video yang berisi wawancara dengan seorang pria bernama Hadi Pranoto di kanal YouTube-nya pada Jumat, 31 Juli 2020. Pria itu diklaim sebagai profesor mikrobiologi yang berhasil membuat obat herbal bernama “Antibodi Covid-19”.
Dalam video berdurasi 35 menit itu, Hadi Pranoto mengatakan obatnya itu telah dibagikan kepada 250 ribu orang dan cukup efektif untuk menyembuhkan dan mencegah Covid-19. “Herbal kita sudah berhasil dan terbukti. Yang positif kita obati sembuh, yang menjelang terinfeksi kita obati sembuh semuanya,” ujarnya.
Hadi menyatakan telah melakukan riset terhadap virus Corona dan pengembangan obat itu sejak 2000. Ia mengklaim obatnya itu berbeda dengan vaksin karena tidak disuntikkan, melainkan diminum. Obat itu, kata dia, akan membentuk antibodi yang akan menjadi piranti keamanan tubuh. “Bahan baku semuanya di Indonesia,” ujar Hadi.
Selain mengklaim menemukan obat antibodi, Hadi juga menyampaikan sejumlah pernyataan yang kontroversial, mulai dari adanya 1.153 jenis virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, dan empat golongan Covid-19; SARS-CoV-2 yang sama dengan virus Corona sebelumnya; dan harga tes swab digital yang harganya Rp 10-20 ribu.
Sebelum dihapus oleh YouTube pada 2 Agustus 2020, video Anji itu telah viral dan dibagikan ulang oleh kanal lain di YouTube serta menyebar ke Facebook, Twitter, Instagram, dan WhatsApp.
Bagaimana kebenaran pernyataan Hadi Pranoto dalam video Anji tersebut?
PEMERIKSAAN FAKTA
Klaim 1: Hadi Pranoto adalah profesor di bidang mikrobiologi yang telah melakukan riset virus Corona selama 20 tahun.
Fakta:
Tempo menggunakan Google Scholar untuk memeriksa profil Hadi di dunia akademik dan jejak hasil penelitiannya. Google Scholar adalah layanan yang dapat membantu publik mencari jurnal tertentu, menyimpan sumber ke "perpustakaan pribadi", dan mendapatkan kutipan dari para peneliti dengan cepat.
Lewat pencarian ini, ditemukan empat nama Hadi Pranoto, tapi tiga di antaranya tidak berkaitan dengan bidang mikrobiologi. Terdapat satu nama Hadi Pranoto yang berasal dari Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman. Namun, setelah Tempo melakukan pencarian di situs resmi Universitas Mulawarman, Hadi Pranoto dalam foto yang tercantum di sana berbeda dengan Hadi dalam video Anji.
Selain itu, tidak ditemukan jejak jurnal ilmiah dalam direktori Google Scholar yang diterbitkan atas nama Hadi Pranoto di bidang mikrobiologi maupun terkait virus Corona. Padahal, menurut Pasal 26 ayat 3 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Permenpan) Nomor 46 Tahun 2013, syarat untuk mencapai jenjang profesor atau guru besar di antaranya adalah memiliki karya ilmiah yang telah dipublikasikan di jurnal internasional bereputasi dan memiliki pengalaman kerja sebagai dosen paling singkat 10 tahun.
Wakil Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi mengatakan pihaknya telah mencoba menelusuri latar belakang Hadi. Dia mengatakan Hadi bukanlah anggota IDI. Kelompok ahli mikrobiologi, kata dia, juga tak mengenal sosok Hadi.
Menurut Anggota Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Supriadi Rustad, di pangkalan data Dikti, tidak ada nama Hadi Pranoto yang di dalam video Anji diklaim bergelar profesor. “Dia profesor dari kampus mana, laboratoriumnya di mana, dan tim peneliti obat Covid-19 siapa saja, itu tidak jelas. Jadi, klaim gelar profesornya sangat diragukan.”
Update pada 4 Agustus 2020: Dalam wawancaranya bersama Jawapos.com pada 3 Agustus 2020 malam, Hadi Pranoto mengakui bahwa dirinya memang bukan dokter atau profesor. Itu hanya sebutan dari teman-temannya. Hadi mengklaim bahwa teman-temannya selama ini kagum terhadap dirinya sebagai anak bangsa yang bisa menjadi penemu. "Kami juga sudah sampaikan pada IDI bahwa kalau di database nama saya pasti tidak ada. Karena saya bukan dokter, dan saya tak ada hubungan atau kerja sama dengan IDI," kata Hadi. Ia menambahkan, "Saya tak pernah declare diri saya seorang dokter atau seorang profesor. Itu kan panggilan kesayangan teman-teman saya karena merasa bangga ada anak bangsa, orang kecil, bisa menemukan suatu herbal yang bermanfaat untuk pengobatan Covid-19."
Klaim 2: Menemukan obat herbal “Antibodi Covid-19” yang cukup efektif untuk menyembuhkan mereka yang terkena Covid-19, hanya dalam 2-3 hari. Dia mengatakan sudah mendistribusikan obat herbal itu ke sejumlah daerah di Sumatera, Jawa, Bali, dan kalimantan. Di Jakarta, obat ini didistribusikan ke RS Darurat Wisma Atlet.
Fakta:
Kepala Pusat Kesehatan TNI Mayor Jenderal Tugas Ratmono mengatakan RS Darurat Wisma Atlet tidak pernah menggunakan obat herbal “Antibodi Covid-19”. Mantan Komandan Satuan Tugas Kesehatan RS Darurat Wisma Atlet, Brigadir Jenderal Agung Hermawanto, pun mengatakan tidak pernah menggunakan obat buatan Hadi. Agung menjabat sebagai Komandan RS Wisma Atlet hingga 15 April 2020.
IDI sendiri mempertanyakan institusi yang menjadi tempat penelitian obat itu. IDI juga ragu bahwa obat tersebut sudah melewati uji klinis. Memang, dalam video Anji itu, Hadi Pranoto tidak menjelaskan detail bahan, komposisi, laboratorium, dan uji klinis atas obat yang diklaimnya.
Padahal, menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sebelum dipasarkan, suatu obat baru mesti melalui proses pengembangan yang panjang, mulai dari konsep pengembangan obat baru, pengembangan zat aktif, proses pembuatan, metode analisis dan pengujian non-klinik, hingga program uji klinik yang merupakan tahapan pembuktian keamanan, khasiat, dan mutu obat pada manusia yang datanya akan digunakan untuk registrasi obat tersebut. Uji non-klinis diberikan ke hewan, sedangkan uji klinis diberikan ke manusia.
Ahli biologi molekuler, Ahmad Rusdan Handoyo Utomo, menuturkan hal yang sama. Menurut dia, produksi obat harus melewati proses yang panjang dan ketat. Tahapan yang harus dilalui yakni uji pra-klinis yang dilakukan di laboratorium dan pada hewan serta uji klinis yang dilakukan pada manusia melalui fase 1-3.
Dalam uji klinis fase 3, obat harus diberikan kepada pasien Covid-19 dengan kondisi yang spesifik. Sebab, kondisi pasien Covid-19 tidak seragam, ada yang bergejala ringan, berat, dan kritis. “Hasil dari uji pra-klinis dan klinis harus ditulis dalam jurnal ilmiah sebagai bentuk transparansi,” katanya. Klaim sembuh juga harus ditunjukkan dengan data yang detail, seperti pasien pada gejala mana yang sembuh. “Sebab, pada pasien gejala ringan, mayoritas 60-80 persen akan sembuh sendiri tanpa harus minum ramuan tersebut,” katanya.
Ahmad menjelaskan masyarakat tetap boleh membuat ramuan herbal asalkan tidak mencantumkan klaim sebagai obat atau dapat menyembuhkan Covid-19 sepanjang tidak melalui prosedur ilmiah. Selain bisa menyesatkan publik, klaim soal obat Covid-19 ini dapat mengurangi kepatuhan masyarakat terhadap protokol pencegahan penularan Covid-19, seperti menggunakan masker, menjaga jarak, dan rutin membersihkan tangan dengan sabun serta air yang mengalir.
Dalam rilisnya, Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) pun mengimbau agar masyarakat berhati-hati terhadap produk herbal yang belum terbukti kebenarannya. Menurut Kemenristek, setiap klaim yang disebutkan terkait produk herbal harus melewati kaidah penelitian yang benar. Produk herbal juga harus diuji klinis sesuai protokol yang disetujui oleh BPOM.
Selain itu, Kemenristek menyatakan bahwa Hadi tidak ada hubungannya dengan Konsorsium Riset dan Inovasi untuk Percepatan Penanganan Covid-19 dan tidak pernah menjadi anggota peneliti konsorsium dalam tim pengembangan herbal imunomodulator. Konsorsium ini pun menyatakan tidak pernah memberikan dukungan uji klinis obat herbal produksi Bio Nuswa yang diakui oleh Hadi telah diberikan kepada pasien di RS Darurat Wisma Atlet. Setiap pelaksanaan uji klinis harus mendapatkan persetujuan pelaksanaan uji klinis seperti oleh BPOM dan ethical clearance oleh Komisi Etik.
Klaim 3: Virus Covid-19 berkembang menjadi 1.153 jenis.
Fakta:
Pengajar mikrobiologi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga, Agung Dwi Widodo, mengatakan bidang mikrobiologi tidak menggunakan istilah jenis untuk mengklasifikasi virus. Secara ringkas, Agung menjelaskan virus penyebab Covid-19 digolongkan dalam famili virus Corona, spesiesnya bernama SARS-CoV-2. Spesies itu kemudian dibagi lagi menjadi strain. Dasar klasifikasi strain adalah geografi dan genetik virus. “Kalau berdasarkan daerah, ada 6-8 kelompok. Berdasarkan genetik, jumlahnya sama. Jadi, tidak sampai seribu,” kata Agung.
Wakil Ketua Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo, mengatakan belum pernah mendengar bahwa SARS-CoV-2 sudah bermutasi. “Saya justru belum pernah mendengar SARS-CoV-2 sudah bermutasi sehingga menyebabkan terbentuknya subtipe baru,” ujarnya.
Klaim 4: Covid-19 dibagi menjadi beberapa golongan. Golongan A adalah yang bisa dideteksi dengan rapid test. Golongan B dan C adalah yang tidak bisa dideteksi dengan rapid test, tapi bisa dideteksi dengan tes swab. Sementara golongan D adalah yang tidak bisa dideteksi dengan tes swab, tapi bisa dideteksi dengan tes DNA untuk melihat apakah virus sudah masuk ke jaringan pembuluh darah atau masih dalam proses asimilasi untuk masuk ke tubuh melalui oksigen.
Fakta:
Tidak ada penggolongan Covid-19 yang didasarkan pada kemampuan deteksinya. Sejauh ini, tes PCR dianggap paling akurat untuk mendeteksi Covid-19 dibandingkan rapid test antibodi. Tes PCR Covid-19 sudah dikembangkan untuk mendeteksi SARS-CoV-2 yang diambil dari lendir di saluran pernapasan. Dalam tes PCR ini, terdapat materi genetik sintetik atau primer yang hanya bisa menempel pada urutan materi genetik SARS-CoV-2. Tes PCR bisa mendeteksi keberadaan SARS-CoV-2 tanpa harus menunggu munculnya antibodi seperti rapid test.
Sementara terkait klaim golongan D yang hanya bisa dideteksi dengan tes DNA, keliru. Menurut ahli biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo Utomo, materi genom SARS-CoV-2 adalah RNA sehingga tidak akan bisa dideteksi dengan tes DNA. “Jadi, sampai kiamat pun, enggak akan ketemu virusnya kalau dites dengan tes DNA,” kata Ahmad.
Hal ini juga diungkapkan oleh pakar penyakit dalam spesialis paru-paru Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada, Sumardi. Menurut dia, virus Corona jenis baru penyebab Covid-19 ini merupakan virus RNA. Virus RNA yaitu strain yang saat bertemu dengan inang dapat membuat salinan baru yang bisa terus menginfeksi sel lain.
Klaim 5: Covid-19 baru mati pada suhu 350 derajat.
Fakta:
Pengajar mikrobiologi FK Unair, Agung Dwi Widodo, dan Wakil Ketua Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo, sama-sama menyangkal pernyataan Hadi Pranoto tersebut. Agung mengatakan, berdasarkan pengalamannya di laboratorium, virus Corona Covid-19 sudah inaktif di suhu 120 derajat celcius. “Selama ini kami pakai autoklaf yang 120 derajat, itu virusnya sudah inaktif,” katanya. Autoklaf adalah alat pemanas tertutup yang digunakan untuk mensterilisasi benda menggunakan uap panas dan tekanan tinggi.
Adapun menurut Herawati, dibutuhkan pengetahuan mengenai struktur virus untuk mengetahui toleransi suatu mikroorganisme terhadap suhu. Dia menjelaskan virus memiliki membran pelapis ganda yang terdiri dari lipid dan protein. Zat yang menyelubungi virus itu akan larut bila dipanaskan. Terkait klaim virus Corona Covid-19 mati pada suhu 350 derajat, Herawati menyebut Hadi keliru. “Hasil studi menyatakan bahwa pada suhu 56 derajat Celcius membran akan rusak,” ujarnya.
Klaim 6: Tes digital teknologi murah seharga Rp 10 ribu.
Fakta:
Wakil Ketua Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo, menyatakan tidak mengetahui adanya tes Covid-19 yang bernama digital teknologi seperti yang dikatakan Hadi Pranoto, yang hanya bertarif Rp 10-20 ribu. Dia mengatakan tenaga medis di dunia menggunakan reverse transcriptase polymerase chain reaction (PCR). “Itu juga yang digunakan di Indonesia,” katanya.
Senada dengan Herawati, pengajar mikrobiologi FK Unair, Agung Dwi Widodo, tidak paham dengan maksud digital teknologi yang disebutkan Hadi. Dia pun bercerita tentang sejumlah guru besar yang sempat merasa jengkel dengan klaim tes Covid-19 yang dikatakan oleh Hadi tersebut. “Kalau ada tes yang berbasis digital teknologi itu murah, maka semua sampel di Surabaya mau dikirim ke Hadi Pranoto,” canda Agung.
Pria yang berprofesi sebagai dokter mikrobiologi klinis itu juga berkata tes Covid-19 tergolong mahal karena sejumlah penyebab. Beberapa di antaranya adalah petugas mesti menggunakan alat pelindung diri (APD) saat mengambil sampel; jumlah mesin pengujian yang terbatas; dan reagen yang masih impor.
Klaim 7: Covid-19 bisa terdeteksi lewat keringat.
Fakta:
Pengajar mikrobiologi FK Unair, Agung Dwi Widodo, mengatakan belum ada penelitian yang menyebut bahwa deteksi Covid-19 bisa dilakukan melalui keringat. Yang terbaru, kata dia, banyak ilmuwan menyebut bahwa tes Covid-19 bisa menggunakan air liur atau saliva. Senada dengan Agung, Wakil Ketua IDI Adib Khumaidi mengatakan belum ada penelitian yang menyebut bahwa tes Covid bisa menggunakan keringat. “Belum ada penelitian secara ilmiah yang membuktikan itu,” kata Adib.
KESIMPULAN
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim-klaim yang dilontarkan oleh Hadi Pranoto dalam video yang diunggah oleh Anji di kanal YouTube-nya keliru. Tiga klaim, yakni klaim bahwa golongan D Covid-19 hanya bisa dideteksi melalui tes DNA, klaim bahwa virus Corona Covid-19 memiliki 1.153 jenis, dan klaim bahwa virus Corona Covid-19 mati pada suhu 350 derajat, keliru. Dua klaim, yakni klaim bahwa obat herbal “Antibodi Covid-19” dapat menyembuhkan Covid-19 dan klaim bahwa Covid-19 bisa terdeteksi lewat keringat, tidak terbukti. Sedangkan satu klaim, yakni terkait tes digital teknologi Covid-19 seharga Rp 10-20 ribu, menyesatkan.
IKA NINGTYAS
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id