[Fakta atau Hoaks] Benarkah Risma Sujud ke IDI Karena Warga Surabaya Tak Diterima di RSUD Dr Soetomo?
Rabu, 1 Juli 2020 11:35 WIB
Klaim bahwa Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini atau Risma sujud di hadapan anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Surabaya dan IDI Jawa Timur karena warganya yang terinfeksi Covid-19 tidak diterima di RSUD dr. Soetomo beredar di media sosial. Di Facebook, klaim tersebut dibagikan oleh akun Facebook Rachman Ardiyanto, yakni pada 29 Juni 2020.
Dalam unggahannya, akun itu menulis, "Untuk teman-teman fbku, yang melihat Surabaya zona hitam, harap dibaca. Smua yang d luar surabaya boleh di rawat di surabaya (rs milik sby), akan tetapi untuk warga Surabaya sendiri tidak diperbolehkan untuk ke rs milik rs dr soetomo (milik pemprov), SAMPAI BU RISMA SUJUD KE IDI."
Akun itu pun menyertakan gambar tangkapan layar unggahan akun Instagram @ini_surabaya yang berisi sebuah berita dari Detik.com yang berjudul "Sujud ke IDI, Risma: Saya Memang Goblok!". Dalam gambar tangkapan layar itu, terdapat pula foto Risma ketika sujud di hadapan salah satu anggota IDI saat audiensi soal penanganan warga Surabaya yang terjangkit Covid-19.
Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun Rachman Ardiyanto telah dibagikan lebih dari 1.100 kali, direspons lebih dari 500 kali, dan dikomentari sebanyak 133 kali.
Apa benar Risma sujud ke IDI karena warga Surabaya yang terinfeksi Covid-19 tidak diterima di RSUD dr. Soetomo?
PEMERIKSAAN FAKTA
Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo menelusuri kronologi Risma sujud di hadapan IDI di berbagai pemberitaan media lewat mesin pencarian Google. Dilansir dari Kumparan.com, kejadian itu bermula ketika digelarnya audiensi antara Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dengan IDI Surabaya.
Saat itu, Risma mendengarkan penjelasan salah satu pengurus IDI Surabaya, Sudarsono, tentang penanganan pasien Covid-19 di Surabaya. Menurut Sudarsono yang merupakan dokter spesialis paru itu, salah satu penyebab tingginya kematian pasien Covid-19 adalah pasien harus menunggu untuk masuk ke ruang isolasi, terutama di RSUD dr. Soetomo.
"Saya ikut bantu di poli, di IGD, dan di ruang isolasi. Saya tahu betul kalau pasien itu harus antri untuk masuk ruang isolasi. Soetomo sudah penuh. Belum lagi, kalau malam saya pulang dari rumah sakit saya lihat warga Surabaya masih nongkrong di warung kopi banyak yang mengabaikan protokol kesehatan," kata Sudarsono.
Mendengar penjelasan tersebut, Risma tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya dan menuju ke arah Sudarsono. "Semua salah saya. Saya yang salah," kata Risma sembari menangis dan bersujud di hadapan Sudarsono. Melihat Risma bersujud di depannya, Sudarsono dan sejumlah staf Risma yang terkejut mencoba mengangkat Risma untuk berdiri.
"Saya sudah sediakan 200 bed di RS Husada Utama kalau di RS dr. Soetomo penuh. Saya bilang silakan pakai kalau sudah penuh. Tapi kenapa saya selalu disalahkan. Padahal bantuan saya ditolak. Saya enggak bisa masuk Soetomo," kata Risma sambil terisak. Sebagai informasi, RSUD dr. Soetomo merupakan rumah sakit di bawah pengelolaan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur.
Melihat situasi itu, Ketua IDI Surabaya Brahmana Askandar mencoba menengahi Risma dan Sudarsono. "Jadi, sebetulnya permasalahannya di kapasitas kamar yang dipakai pasien konversi dari positif ke negatif. Mereka sudah diuji PCR satu kali dan hasilnya negatif. Tapi mereka belum boleh pulang kalau belum dua kali PCR. Karena, kalau mereka dipulangkan padahal masih satu kali PCR, nanti klaim rumah sakit ditolak BPJS. Di situ saja masalahnya sebenarnya. Seolah-olah kamar terisi terus, padahal pasien yang masuk dan keluar ini enggak sebanding," katanya.
Setelah mendengar penjelasan dari berbagai dokter spesialis paru dan anestesi serta perwakilan rumah sakit seluruh Surabaya, Risma pun kembali meminta maaf. "Saya memang goblok. Saya nggak pantas jadi Wali Kota Surabaya. Saya minta maaf Pak Sudarsono," kata Risma yang kembali mendatangi Sudarsono dan bersimpuh di kakinya untuk kedua kalinya sambil menangis. Melihat kejadian itu, Sudarsono dan sejumlah staf pemkot pun segera membantu Risma untuk berdiri kembali.
Kronologi serupa juga dimuat oleh Kompas.com. Pada 29 Juni 2020, Risma menggelar audiensi dengan IDI Surabaya di Balai Kota Surabaya terkait penanganan Covid-19 di wilayahnya. Tangisan Risma meledak saat Ketua Tim Penyakit Infeksi Emerging dan Remering (Pinere) RSUD dr. Soetomo, Sudarsono, menyatakan rumah sakitnya telah melebihi kapasitas. Sudarsono juga menuturkan banyak warga yang tidak mematuhi protokol kesehatan.
Mendengar pernyataan tersebut, Risma langsung bersujud dan menangis sambil memegang kaki Sudarsono. Sejumlah pejabat Pemkot Surabaya dan para dokter yang hadir pun berusaha menenangkan Risma. "Tolonglah kami jangan disalahkan terus," kata Risma.
Menurut Risma, Pemkot Surabaya telah bekerja keras menangani kasus Covid-19. Risma mengatakan ia tidak ingin ada warga Surabaya yang meninggal karena Covid-19. Tapi, di sisi lain, Risma tidak ingin ada warganya yang kelaparan. "Jadi, kami ini sudah bekerja keras, berat. Apa dikira saya rela warga saya mati karena Covid-19 atau mati karena tak bisa makan?" ujarnya.
Risma menjelaskan bahwa Pemkot Surabaya memang hanya berwenang mengendalikan penyebaran Covid-19 di Surabaya. Tapi mereka juga mengurus pasien yang berasal dari luar Surabaya. "Semalam, saya dan Linmas (Perlindungan Masyarakat) masih mengurus warga bukan Surabaya. Warga bukan Surabaya saja masih kami urus, apalagi warga Surabaya," ujarnya.
Video sujudnya Risma di hadapan IDI Surabaya pun diunggah ke kanal YouTube KompasTV pada 29 Juni 2020. Video itu berjudul "Risma Sujud sambil Menangis di Hadapan Dokter di Surabaya: Saya Mohon Maaf!". Dalam video itu, dijelaskan bahwa Risma bersujud dan menangis karena mendengar banyak warga Surabaya yang tidak bisa dirawat di RSUD dr. Soetomo karena jumlah pasien yang dirawat telah melebihi kapasitas.
Penjelasan RSUD dr. Soetomo
Direktur Utama RSUD dr. Soetomo, Joni Wahyudi, menanggapi pernyataan Risma soal Pemkot Surabaya yang tidak memiliki akses untuk berkomunikasi dengan rumah sakitnya yang berada di bawah kewenangan Pemprov Jatim. Joni mengatakan hubungan antara rumah sakitnya dengan Pemkot Surabaya baik-baik saja, terutama dalam rangka koordinasi penanganan Covid-19.
"RSUD dr. Soetomo selama ini selalu menerima Pemkot Surabaya dengan baik dan tangan terbuka. Sebelumnya koordinasi juga telah dilakukan di ruang rapat RSUD dr. Soetomo, khususnya terkait permasalahan Covid-19 dan tracing," ujar Joni seperti dilansir dari Tirto.id pada 29 Juni 2020.
Joni juga menuturkan, setiap sore, RSUD dr. Soetomo selalu berkomunikasi dengan Dinas Kesehatan Kota Surabaya dan 37 daerah lainnya terkait data penyebaran Covid-19 untuk memverifikasi data yang disampaikan oleh Kementerian Kesehatan.
Terkait pernyataan Risma soal penolakan bantuan alat pelindung diri (APD) dari Pemkot Surabaya kepada RSUD dr. Soetomo, Joni menjelaskan bahwa rumah sakitnya bukan menolak bantuan tersebut. Menurut dia, ketersediaan APD di RSUD dr. Soetomo masih mencukupi dan lebih baik digunakan oleh rumah sakit lain yang membutuhkan.
Soal data pasien Covid-19, menurut Joni, RSUD dr. Soetomo saat ini tengah merawat 1.097 pasien positif Covid-19. Dari jumlah itu, 865 di antaranya merupakan pasien yang berdomisili Surabaya. Angka tersebut setara dengan 79 persen dari total pasien Covid-19 yang dirawat di RSUD dr. Soetomo.
Selain Surabaya, Joni mengatakan bahwa pasien Covid-19 yang dirawat di RSUD dr. Soetomo juga berasal dari daerah lain, seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan sebagainya. "Tapi yang terbanyak dari Jatim. Jatim yang terbanyak dari Surabaya," ujar Joni seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Kondisi yang sama juga terjadi di RS Lapangan atau RS Darurat yang didirikan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jatim di Surabaya. Pasien yang dirawat juga mayoritas berasal dari Surabaya. "Kenapa? Karena memang kita di Surabaya," kata Joni.
Dikutip dari Merdeka.com, Joni mengatakan bahwa, menurut etika perawat dan pernyataan IDI dan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), seluruh dokter tidak boleh membeda-bedakan pasien berdasarkan ras, agama, kedaerahan, ataupun politik.
"Itu etika kedokteran. Artinya, kalau Pemprov Jatim membuat rumah sakit khusus untuk masyarakat Jatim, dan orang Kalimantan, orang Jawa Tengah, enggak boleh masuk, itu enggak etis, enggak diperkenankan di dunia kedokteran. Coba dibuka etika kedokteran," ujar Joni.
KESIMPULAN
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Risma sujud di hadapan IDI karena warganya yang terinfeksi Covid-19 tidak diterima di RSUD dr. Soetomo menyesatkan. Risma sujud dan menangis setelah mendengar penjelasan dari salah satu dokter bahwa RSUD dr. Soetomo telah melebihi kapasitas. Dokter tersebut juga menuturkan banyak warga yang tidak mematuhi protokol kesehatan. Selain itu, data menunjukkan bahwa 79 persen pasien Covid-19 yang dirawat di RSUD dr. Soetomo berdomisili Surabaya.
IBRAHIM ARSYAD
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id