[Fakta atau Hoaks] Benarkah Video Ricuh di RS Pancaran Kasih Manado Ini Tunjukkan Covid-19 adalah Bisnis?
Selasa, 2 Juni 2020 16:12 WIB
Akun Facebook Alifah Nisa, pada 1 Juni 2020, membagikan empat video yang memperlihatkan suasana saat warga sebuah kampung menjemput jenazah pasien Covid-19 di rumah sakit. Peristiwa dalam video itu pun diklaim menunjukkan adanya bisnis di balik pandemi Covid-19.
Di salah satu video, terdengar suara seorang pria yang menyebut pihak rumah sakit menyogok pihak keluarga agar jenazah dimakamkan sesuai dengan protokol Covid-19. Berdasarkan pernyataan inilah akun Alifah Nisa kemudian membagikan narasi sebagai berikut:
"Ya allah apakah berita ini benarr. Alhamdulillah.. akhirnya terbongkar juga BISNIS mereka. Kejadian tadi siang di manado Rumah sakit Pancaran kasih, pasien org wonasa yg sakit jantung dan meninggal Dunia,dan Dokter menyogok Keluarga Almarhum dengan uang pecahan 50 ribu yg tergulung rapi agar korban di jadikan korban Covid,keluarga korban tdk setuju dan jenasah di ambil secara paksa.. TERBONGKARLAH BISNIS MEREKA. CORONA ADALAH PERDAGANGANG."
Beberapa bagian dari video-video tersebut juga menyebar di YouTube dan Instagram. Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun Alifah Nisa telah dibagikan lebih dari 20 ribu kali dan dikomentari lebih dari 4 ribu kali.
Apakah benar keempat video di atas menunjukkan bahwa Covid-19 adalah bisnis?
PEMERIKSAAN FAKTA
Konteks peristiwa dalam video
Berdasarkan pemberitaan, pasien yang dimaksud dalam video tersebut adalah Jamin Lasarika, 52 tahun. Ia merupakan warga Kelurahan Ternate Baru Lingkungan I, Kecamatan Singkil, Manado, yang masuk rumah sakit pada 26 Mei 2020 pukul 10.20 WITA dan meninggal pada 1 Juni pukul 13.30 WITA.
Menurut keterangan perawat RS Pancaran Kasih, pasien didiagnosa mengalami pneumonia dan hilang kesadaran. Dengan adanya gejala tersebut, Jamin masuk ke kategori Pasien Dalam Pengawasan (PDP) dan ditangani sesuai dengan protokol Covid-19.
Namun, pada 1 Juni pukul 15.00 WITA, pihak keluarga masih tidak setuju jenazah ditangani dengan protokol Covid-19. Pada pukul 17.40 WITA, tersiar isu jika pihak keluarga akan mendapatkan uang sebesar Rp 15 juta dari RS Pancaran Kasih. Massa pun semakin tidak terkendali dan langsung mencari jenazah untuk dibawa ke rumah duka.
Pada pukul 17.50 WITA, pihak keluarga dan masyarakat berhasil mengeluarkan jenazah dari rumah sakit. Mereka pun menuju rumah duka di Kelurahan Ternate Baru Lingkungan I untuk menggelar pemandian dan salat jenazah serta persiapan pemakaman.
Sumber: Sulutreview.com dan Suara.com
Penjelasan terkait pemberian uang
Direktur Utama RS Pancaran Kasih Frangky Kambey menjelaskan, dalam situasi wabah, jenazah yang bestatus Orang Dalam Pengawasan (ODP), PDP, dan positif Covid-19 harus dimakamkan dengan protokol Covid-19. Karena pasien yang dimaksud, yakni Jamin Lasarika, beragama Islam dan berstatus PDP, protokol pemulasaran dan pemakaman jenazah menggunakan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 18 Tahun 2020 tentang pedoman pengurusan jenazah muslim yang terinfeksi Covid-19. Dalam Pasal 7, jenazah bisa dimandikan, dikafani, dan disalatkan oleh pemuka agama yang beragama Islam.
Menurut Frangky, RS Pancaran Kasih memberlakukan kebijakan untuk memberikan insentif kepada mereka yang memandikan, mengafani, dan menyalatkan jenazah, masing-masing sebesar Rp 500 ribu. “Mengingat mereka menanggung risiko yang besar, dalam hal ini tertular, maka harus menggunakan APD (alat pelindung diri) level 3. Biasanya, kami berikan insentif sebesar Rp 500 ribu per orang,” katanya.
Akan tetapi, untuk jenazah pasien tersebut, petugas yang memandikan, mengafani, dan menyalatkan hanya satu orang, sehingga ada dua insentif yang tertinggal. Frangky pun menginstruksikan kepada bawahannya agar dua insentif itu diberikan kepada pihak keluarga. Namun, pihak keluarga keberatan dan terjadi salah paham. Situasi pun ricuh dan berujung pada kerusakan fasilitas di RS Pancaran Kasih.
Sumber: Jawapos.com
Kesalahpahaman informasi
Fatwa MUI Nomor 18 Tahun 2020 telah mengatur secara detail mengenai protokol pemulasaran dan pemakaman jenazah pasien Covid-19. Satu di antaranya adalah jenazah dikafani dengan kain yang menutup seluruh tubuh dan dimasukkan ke dalam kantong jenazah yang aman serta tidak tembus air untuk mencegah penyebaran virus dan menjaga keselamatan petugas.
Setelah pengafanan selesai, jenazah dimasukkan ke dalam peti yang tidak tembus air dan udara dengan dimiringkan ke kanan sehingga, saat dikuburkan, jenazah menghadap ke arah kiblat.
Selain itu, insentif kepada petugas pemulasaran dan pemakaman jenazah tidak hanya berlaku di Manado. Insentif juga diberikan oleh pemerintah daerah lain seperti Provinsi DKI Jakarta dan Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara. Dengan demikian, insentif tidak terkait dengan sogokan.
Menurut anggota DPRD Manado, Syarifudin Saafa, kisruh antara RS Pancaran Kasih dan pihak keluarga pasien berstatus PDP terjadi karena masalah kehumasan. Kehumasan yang dimaksud adalah antara gugus tugas Covid-19, pemerintah, dan rumah sakit.
“Hal-hal yang berhubungan dengan rumah sakit itu betul-betul harus terjelaskan kepada masyarakat supaya tidak menimbulkan 'mispersepsi',” kata Saafa. Akibatnya, menurut Saafa, rumah sakit harus memberikan penjelasan saat memberikan uang kepada keluarga pasien.
Sumber: Situs resmi Gugus Tugas Covid-19, Beritamanado.com, Zonautara.com, dan Liputan6.com
KESIMPULAN
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, peristiwa dalam empat video di atas memang benar terjadi di Manado pada 1 Juni 2020. Pihak keluarga menolak jenazah pasien yang dimaksud dalam video tersebut dimakamkan dengan protokol Covid-19. Pasien sendiri berstatus PDP sehingga berlaku protokol pemulasaran dan pemakaman jenazah sesuai Fatwa MUI Nomor 18 Tahun 2020. Namun, tuduhan adanya sogokan dari rumah sakit adalah kesalahpahaman. Uang yang diberikan oleh RS Pancaran Kasih kepada pihak keluarga adalah insentif yang biasanya diberikan kepada petugas yang memandikan, mengafani, dan menyalatkan jenazah. Dengan demikian, klaim bahwa video-video itu menunjukkan adanya bisnis di balik pandemi Covid-19 menyesatkan.
IKA NINGTYAS
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id