[Fakta atau Hoaks] Benarkah Tes PCR Tak Bisa Tunjukkan Jenis Virus Corona Covid-19?
Selasa, 26 Mei 2020 17:01 WIB
Sebuah tulisan panjang yang menyebut bahwa tes polymerase chain reaction (PCR) tidak bisa menunjukkan jenis virus Corona Covid-19 viral di Facebook. Salah satu akun yang membagikan tulisan itu adalah akun Thiwy Yunus, yakni pada 23 Mei 2020. Akun ini mengklaim bahwa tulisan tersebut merupakan saduran. Namun, akun itu tidak menyebut sumber dari tulisan ini.
Tulisan tersebut berisi sejumlah klaim. Klaim pertama, rapid test hanya bisa mengecek antibodi di dalam tubuh seseorang, bukan mengecek virus. "Jika antibodi muncul/reaktif dianggap ada virus atau bakteri.. Tapi gak tau itu virus/bakteri apa.. Itu sudah dianggap hasilnya positif. Orang flu kalo ikut rapid tes hasilnya kemungkinan positif karena antibodinya muncul.. Jadi hasil rapid tes positif blm tentu kena Corona."
Klaim kedua, tes PCR juga hanya bisa mendeteksi keberadaan virus, tapi tidak bisa menentukan jenis virus yang diidap seseorang serta membedakan virus yang masih hidup dan yang sudah mati akibat sudah dibunuh oleh antibodi di dalam tubuh. "Tes PCR akan memberikan hasil positif jika ada virus, entah itu virus hidup atau virus mati," demikian bunyi klaim kedua.
Adapun klaim ketiga, tidak ada kasus kematian yang murni diakibatkan oleh virus Corona. "Disebabkan krn terlalu bnyk bermacam2 virus yg ada dlm tubuh shg antibodi kalah dan tidak mampu kalahkan virus yg terlalu bnyk dan bermacam2 itu.. Jika ada ribuan yg meninggal itu menunjukkan sebelum adanya Covid-19 banyak ribuan org sdh terjangkit virus.. Sehingga ketika kena covid kondisi semakin parah.. antibodi gak ngatasi lagi.."
Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah dibagikan lebih dari 1.500 kali, dikomentari lebih dari 400 kali, dan disukai lebih dari 500 kali.
Artikel cek fakta ini akan berisi pemeriksaan terhadap dua klaim:
- Apa benar rapid test tidak bisa mengenali virus Corona Covid-19?
- Apa benar tes PCR tidak bisa menunjukkan jenis virus yang diidap seseorang serta membedakan virus yang masih hidup dan yang sudah mati?
PEMERIKSAAN FAKTA
Untuk memverifikasi dua klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mewawancarai Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia, Berry Juliandi, dan melakukan riset terhadap berbagai artikel di situs-situs kredibel.
Menurut Berry, klaim bahwa rapid test tidak bisa menentukan Covid-19 keliru. Rapid test yang dipakai dalam skrining Covid-19 sudah didesain untuk mengenali antibodi yang dikeluarkan tubuh saat virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, menginfeksi. “Rapid test itu menggunakan suatu bahan kimia yang khusus mengenali antibodi SARS-CoV-2,” kata Berry saat dihubungi pada 26 Mei 2020.
Antibodi merupakan reaksi alami tubuh apabila terdapat protein asing yang masuk. Tubuh mengeluarkan antibodi sesuai jenis protein asing yang masuk. Karena itu, kata Berry, antibodi untuk SAR-CoV-2 akan berbeda dengan antibodi untuk virus flu biasa atau untuk bakteri. "Apakah bisa mengenali virus apapun, itu salah, karena dia dikembangkan untuk mengenali antibodi untuk SARS-CoV-2," katanya.
Meskipun begitu, akurasi hasil pengujian dengan rapid test memang lebih rendah. Sebab, tes ini sangat bergantung pada jumlah antibodi yang dikeluarkan tubuh saat terjadinya infeksi SARS-CoV-2. Apabila antibodi yang dikeluarkan sedikit, yang dipengaruhi oleh genetika seseorang, hasil rapid test bisa menjadi negatif.
Faktor kedua, rendahnya antibodi sangat bergantung pada durasi waktu sejak seseorang pertama kali terinfeksi. Seseorang yang baru terinfeksi, antibodinya masih rendah. “Sehingga, saat rapid test, hasilnya negatif. Padahal, sebenarnya, dia sudah positif Covid-19,” kata Berry.
Karena itu, waktu terbaik untuk melakukan rapid test minimal pada hari ke-7 setelah terinfeksi dan seterusnya, saat jumlah antibodi cukup banyak. Namun, kendalanya, tidak diketahui kapan seseorang mulai terinfeksi SARS-CoV-2. Sehingga, menurut Berry, rapid test lebih tepat digunakan hanya sebagai penapisan atau skrining orang-orang yang pernah terinfeksi.
Terkait klaim kedua, bahwa tes PCR tidak bisa menunjukkan jenis virus yang diidap seseorang serta membedakan virus yang masih hidup dan yang sudah mati, juga keliru. Menurut Berry, tes Covid-19 yang paling akurat adalah dengan PCR.
Berry menjelaskan bahwa tes PCR Covid-19 sudah dikembangkan untuk mendeteksi SARS-CoV-2 yang diambil dari lendir di saluran pernapasan. Dalam PCR ini, terdapat materi genetik sintetik atau primer yang hanya bisa menempel pada urutan materi genetik SARS-CoV-2. “Jadi, kalau ada virus lain pada lendir, tidak akan bisa dideteksi oleh primer yang khusus dirancang untuk menempel pada SARS-CoV-2,” katanya.
Klaim bahwa PCR tidak bisa mendeteksi virus yang masih hidup atau yang sudah mati pun keliru. Sebab, virus sebenarnya adalah benda mati yang hanya bisa aktif apabila masuk ke dalam sel makhluk hidup.
Menurut Berry, kelebihan tes PCR tersebut menjadikan tes ini lebih akurat ketimbang rapid test. Tes PCR bisa mendeteksi keberadaan SARS-CoV-2 tanpa harus menunggu munculnya antibodi seperti rapid test. “Meskipun virusnya sedikit, bisa langsung dideteksi. Atau, meski 1 detik lalu terinfeksi, juga bisa langsung dideteksi dengan PCR,” kata Berry.
Sementara terkait klaim bahwa tidak ada kasus kematian yang murni diakibatkan oleh virus Corona, Tempo telah memverifikasinya dalam artikel di tautan ini. Menurut para ahli, pasien yang meninggal karena Covid-19 bukan saja mereka yang memiliki penyakit penyerta dan berusia tua, melainkan juga kelompok usia muda dan tanpa penyakit penyerta.
WHO rekomendasikan PCR
Dikutip dari LiveScience, tes PCR bekerja dengan mendeteksi bahan genetik spesifik dalam virus. Tergantung pada jenis PCR yang dipakai, petugas kesehatan mengambil sampel liur dari bagian belakang tenggorokan atau dari saluran pernapasan bawah, dan bisa juga menggunakan sampel tinja.
Begitu sampel tiba di laboratorium, peneliti akan mengekstrak asam nukleatnya, yang menyimpan genom virus. Kemudian, peneliti dapat memperkuat daerah genom tertentu dengan teknik yang dikenal sebagai transkripsi terbalik PCR. Hal ini, pada dasarnya, memberikan peneliti sebuah sampel yang lebih besar yang dapat mereka bandingkan dengan SARS-CoV-2.
Dilansir dari The Conversation, tes PCR pun telah direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) selama pandemi Covid-19. Sedangkan rapid test yang menguji antibodi belum sepenuhnya dapat diandalkan.
Pada 7 April 2020, WHO telah mendaftarkan dua tes diagnostik pertama untuk penggunaan darurat selama pandemi Covid-19. Kedua diagnosa in vitro itu adalah genesig Real-Time PCR Coronavirus (Covid-19) dan cobas SARS-CoV-2 Qualitative assay for use on the cobas 6800/8800 Systems.
Genesig Real-Time PCR Coronavirus (Primerdesign, Inggris) adalah sistem terbuka yang lebih cocok untuk laboratorium dengan kapasitas pengujian sampel sedang. Adapun cobas SARS-CoV-2 for use on the cobas 6800/8800 Systems (Roche, Amerika Serikat) adalah uji sistem tertutup untuk laboratorium yang lebih besar.
Mariangela Simao, Asisten Direktur Jenderal WHO untuk Produk Obat-obatan dan Kesehatan mengatakan, "Daftar penggunaan darurat produk-produk ini akan memungkinkan negara-negara di dunia untuk meningkatkan pengujian dengan diagnostik yang terjamin kualitasnya. Memfasilitasi akses terhadap tes yang akurat sangat penting bagi mereka untuk mengatasi pandemi dengan alat terbaik yang ada."
KESIMPULAN
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa tes PCR tidak bisa menunjukkan jenis virus yang diidap seseorang serta membedakan virus yang masih hidup dan yang sudah mati, keliru. Begitu pula dengan klaim bahwa rapid test tidak bisa mengenali virus Corona Covid-19, yang juga keliru. Rapid test yang digunakan saat ini telah dikembangkan untuk mengenali antibodi yang dikeluarkan tubuh apabila terdapat infeksi Covid-19, meskipun tingkat akurasinya lemah. Sedangkan tes PCR dengan akurasi yang lebih tinggi digunakan untuk mengetahui keberadaan virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.
IKA NINGTYAS
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id