[Fakta atau Hoaks] Benarkah Cuaca Panas Ekstrem di Indonesia Akan Mencapai 45 Derajat Celcius?

Kamis, 24 Oktober 2019 08:58 WIB

[Fakta atau Hoaks] Benarkah Cuaca Panas Ekstrem di Indonesia Akan Mencapai 45 Derajat Celcius?

Pesan berantai mengenai perkiraan cuaca panas ekstrem di Indonesia beredar di aplikasi pesan WhatsApp. Suhu di beberapa wilayah, seperti Solo, Bali, Riau, dan Pekanbaru, diprediksi akan mencapai 45 derajat Celcius hingga tiga hari mendatang.

Pesan itu diklaim berasal dari pantauan mitigasi klimatologi Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat atau NASA. Lewat pesan itu, masyarakat diminta untuk mengurangi aktivitas di luar rumah.

Berikut ini narasi pesan berantai tersebut:

Dear all, mulai besok sampai 3 hari ke depan di harapkan kurangi aktivitas di luar rumah karena cuaca panas ekstrem melanda Indonesia untuk 3 hari ke depan. Banyak minum air mineral dan multivitamin ya Bro... Temperatur panas ekstrem yang terbaca oleh deteksi satelit hari ini adalah di daerah:

Jakarta 38°C
Depok 38°C
Serang Banten 44°C
Bekasi 38°C
Tangerang 44°C
Jogjakarta 40°C
Malang 44°C
Solo 45°C
Madiun 39°C
Magelang 39°C
Purworejo 40°C
Madura 42°C
Bali 45°C
Lombok 43°C
Riau 45°C
Pekanbaru 45°C
Batam 42°C
Makassar 43°C
Pare-pare dan bone 40°C
Papua Nugini, nyaris mendekati 50°C

Advertising
Advertising

Daerah lain masih dalam pantauan mitigasi klimatologi NASA. Jaga kesehatan, pola makan, dan banyak minum air ya, kawan. Panas ekstrem pemicu dehidrasi, malaria, tifus, campak, dan pelemahan sel jaringan otak.

Gambar tangkapan layar pesan berantai mengenai prediksi suhu panas ekstrem di Indonesia yang beredar di WhatsApp.

KLARIFIKASI

Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memastikan bahwa pesan berantai mengenai prediksi cuaca panas ekstrem di Indonesia yang disebut akan mencapai 45 derajat Celcius itu adalah keliru karena tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

"Sepertinya kurang tepat dan tidak benar," ujar Kepala Bidang Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Hary Djatmiko kepada Tempo melalui pesan singkat pada Rabu, 23 Oktober 2019.

Pada 20 Oktober lalu, terdapat tiga stasiun pengamatan BMKG di Sulawesi yang mencatat suhu maksimum tertinggi, yaitu Stasiun Meteorologi Hasanuddin Makassar mencapai 38,8 derajat Celcius, Stasiun Klimatologi Maros mencapai 38,3 derajat Celcius, dan Stasiun Meteorologi Sangia Ni Bandera mencapai 37,8 derajat Celcius.

Suhu tersebut merupakan catatan suhu tertinggi dalam satu tahun terakhir, di mana pada periode Oktober 2018 tercatat suhu maksimum mencapai 37 derajat Celcius. Sementara pada periode 19-20 Oktober 2019, stasiun-stasiun meteorologi di Jawa hingga Nusa Tenggara mencatat suhu udara maksimum terukur berkisar antara 35-36,5 derajat Celcius.

"Berdasarkan persebarannya, suhu panas yang dominan berada di selatan khatulistiwa. Hal ini erat kaitannya dengan gerak semu Matahari," kata Deputi Bidang Meteorologi BMKG Mulyono Prabowo dalam keterangannya pada 20 Oktober lalu. "Seperti diketahui, pada September, matahari berada di sekitar wilayah khatulistiwa dan akan terus bergerak ke belahan bumi selatan hingga Desember."

Dalam siaran pers BMKG pada 23 Oktober kemarin, berdasarkan pengamatan Stasiun Klimatologi Mlati Yogyakarta, suhu udara maksimum pada 22-23 Oktober 2019 adalah 32 derajat Celcius. Sementara suhu maksimum selama lima hari terakhir antara 31-36 derajat Celcius. Suhu 36 derajat Celcius terjadi pada 21-23 Oktober 2019. Namun, tren suhu semakin menunjukkan penurunan.

Dalam menghadapi masa pancaroba, BMKG menghimbau kepada masyarakat untuk mewaspadai kondisi cuaca ekstrem yang berpotensi terjadi, seperti angin kencang atau puting beliung serta hujan berintensitas sedang-lebat yang bersifat lokal. Selain itu, masyarakat juga mesti mewaspadai kondisi cuaca yang berfluktuasi yang berpengaruh terhadap kesehatan.

KESIMPULAN

Berdasarkan klarifikasi BMKG di atas, prediksi cuaca panas ekstrem di Indonesia yang disebut akan mencapai 45 derajat Celcius adalah keliru.

IKA NINGTYAS

Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cekfakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id