[Fakta atau Hoaks] Benarkah Papua Meminta Banser Dibubarkan?
Minggu, 1 September 2019 19:12 WIB
Video yang berjudul "Papua Minta 7 Hal, Termasuk Banser Dibubarkan" beredar di media sosial Facebook. Video yang berdurasi 10 menit itu diunggah oleh akun Piter Papua pada 25 Agustus 2019.
Dalam 30 detik pertama, video itu mencuplik aksi protes ribuan orang Papua atas tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.
Video itu menggabungkan beberapa gambar dan video pendek. Ada video aksi protes ribuan orang Papua, cuplikan dari situs Gelora News dengan judul berita "Masyarakat Papua Tuntut 7 Hal ke Pemerintah, Salah Satunya Minta Ormas Banser Dibubarkan" yang diunggah pada 25 Agustus 2019. Ada pula foto anggota Dewan Perwakilan Daerah terpilih asal Papua, Yorrys Raweyai, dalam berbagai pose serta foto calon Wakil Presiden nomor urut 02 dalam Pemilihan Presiden 2019, Sandiaga Uno.
Cuplikan gambar ini terus-menerus diulang hingga video berakhir dengan narasi yang dibacakan oleh seorang dubber. Narasi itu berisi pernyataan Yorrys yang menyebut bahwa masyarakat Sorong dan Manokwari mengajukan tujuh tuntutan kepada pemerintah. Poin ketiga dari tuntutan itu adalah bubarkan Banser.
Video itu pun viral dan telah dibagikan lebih dari 8.500 kali di Facebook.
Sebelumnya, informasi terkait tuntutan agar Banser atau Barisan Ansor Serbaguna Nahdlatul Ulama dibubarkan tersebut sempat ramai di jagat Twitter pada pekan ketiga Agustus 2019. Informasi itu menyebar di tengah sejumlah aksi protes masyarakat Papua terhadap tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua.
Tagar #BanserUntukNegeri dan #BubarkanBanser menduduki dua peringkat teratas di Twitter. Sementara dalam trending topic dunia, tagar #BubarkanBanser berada di posisi kelima pada 25 Agustus 2019.
Isu terkait tuntutan pembubaran Banser itu pun saling berbalas dengan desakan warganet untuk membubarkan Front Pembela Islam atau FPI.
Tapi, benarkah Papua menuntut pembubaran Banser?
PEMERIKSAAN FAKTA
Narasi dalam video yang diunggah oleh Piter Papua itu sama dengan yang tertulis dalam berita “Masyarakat Papua Tuntut 7 Hal ke Pemerintah, Salah Satunya Minta Ormas Banser Dibubarkan” yang dipublikasikan oleh situs Gelora News.
Gelora News menyebut dirinya sebagai situs berita. Namun, mereka tidak mencantumkan susunan redaksi sebagai penanggung jawab serta tidak menyertakan alamat dan nomor kontak redaksi. Kontennya pun hanya menyalin dari berbagai situs media lainnya.
Beberapa kali, Tempo menemukan informasi sesat yang diunggah oleh situs ini.
Berita mengenai masyarakat Papua menuntut Banser dibubarkan di laman itu disalin dari berita di situs Republika yang berjudul “Yorrys Sebut 7 Tuntutan Ini Harus Diselesaikan untuk Papua” pada 24 Agustus 2019.
Isi berita itu bermula dari pernyataan Yorrys Raweyai usai menghadiri sebuah acara diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, pada 24 Agustus 2019. Menurut Yorrys, di Sorong, Papua Barat, ada tujuh tuntutan yang harus diselesaikan. Tujuh tuntutan massa di Sorong itu disampaikan dalam demonstrasi yang berlangsung di lapangan Kantor Wali Kota Sorong pada 21 Agustus 2019.
Poin ketiga tuntutan itu berisi pemerintah harus segera membubarkan ormas Banser dari Indonesia.
Tempo juga memberitakan pernyataan Yorrys yang baru saja kembali dari Sorong dan Manokwari bersama Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto itu. Di sana, dia berdialog dengan tokoh adat dan masyarakat setempat. Saat berada di Sorong, Yorrys mendapatkan pernyataan tertulis dari massa yang berisi tujuh tuntutan. Pada poin ketiga, Yorrys menyebut bahwa pemerintah harus segera membubarkan ormas Banser dari NKRI.
Namun, pernyataan itu dibantah oleh aktivis masyarakat Papua, Arkilaus Baho, dalam diskusi yang bertajuk "Ngobrol Bareng tentang Papua" di Tebet, Jakarta Selatan, pada 26 Agustus 2019.
Dikutip dari portal berita Suara, Arkilaus mengatakan tersebarnya selebaran berisi tuntutan pembubaran Banser itu adalah ulah oknum tidak bertanggungjawab yang ingin memprovokasi masyarakat Papua dengan Banser NU. Dia memastikan bahwa pernyataan tersebut tidak benar-benar berasal dari masyarakat Papua.
"Jadi itu sama sekali tidak benar, pernyataan sikap yang diedarkan, sebenarnya tidak ada pernyataan sikap seperti itu," ujarnya.
Arkilaus menduga selebaran yang berisi tuntutan masyarakat Papua untuk membubarkan Banser tersebut merupakan ulah politikus abu-abu yang selama ini memanfaatkan isu-isu Papua untuk kepentingan kekuasaannya.
Belakangan, Yorrys pun mengklarifikasi pemberitaan yang beredar itu dengan mendatangi kantor Gerakan Pemuda Ansor pada 27 Agustus 2019.
Dikutip dari laman Detik.com, Yorrys bercerita tentang dirinya yang menemani Menkopolhukam Wiranto, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian ketika berada di Sorong dan Manokwari. Menurut Yorrys, saat itu, Wiranto menyampaikan pesan dan harapan pemerintah tentang situasi di Papua.
Seusai kegiatan itu, Yorrys menghadiri diskusi mengenai Papua di Jakarta. Menurut Yorrys, setelah acara diskusi, ada pertanyaan yang diajukan kepadanya tentang isi tuntutan masyarakat Papua.
"Setelah selesai ada teman-teman pers yang menunjukkan sama saya tentang tuntutan itu melalui WhatsApp. 'Apakah Abang tahu atau Abang dengar langsung ada pernyataan itu tidak?' Saya bilang, 'Saya dapat forward itu dan saya tidak membaca isinya apa.' Itu saja omongan saya," ucap Yorrys.
Yorrys mengaku tidak mengetahui salah satu poin tuntutan dalam selebaran yang diteruskannya kepada orang-orang adalah tentang pembubaran Banser. Yorrys mengetahui isinya setelah menjadi pemberitaan.
Tuntutan Mahasiswa Papua
Pembubaran Banser memang bukan menjadi salah satu tuntutan masyarakat Papua pasca tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Direpresentasikan oleh Aliansi Mahasiswa Papua, misalnya, saat unjuk rasa di seberang Istana Merdeka, Jakarta Pusat, pada 22 Agustus 2019, tuntutan mereka kepada pemerintah terdiri atas 17 hal kepada pemerintah, yakni:
- Mengutuk pelaku pengepungan Asrama Kamasan Papua di Surabaya, penyerangan aksi damai di Malang, pemaksaan pemasangan spanduk dan bendera di asrama Papua di Semarang, serta pemukulan yang berujung pada penangkapan di Ternate dan Ambon;
- Tangkap dan adili aktor intelektual dalam pengepungan Asrama Kamasan Papua di Surabaya dan penyerangan aksi mahasiswa Papua di Malang;
- Kepolisian Resor Surabaya, Kodim Surabaya, dan Pemerintah Daerah Surabaya bertanggung jawab atas pembiaran terhadap TNI, Satpol PP, dan ormas reaksioner yang dengan sewenang-wenang mengepung dan merusak Asrama Kamasan Papua;
- Pecat anggota TNI dan Satpol PP yang memulai provokasi penyerangan Asrama Kamasan Papua di Surabaya;
- Hentikan rasialisme, manusia Papua bukan monyet;
- Tangkap dan adili pelaku pemberangusan ruang demokrasi di Surabaya yang mengakibatkan lima orang luka berat dan belasan lainnya luka ringan;
- Ganti kerusakan materil dan immateril akibat dari penyerangan Asrama Kamasan Papua di Surabaya;
- Hormati dan lindungi hak kebebasan berkumpul dan mengemukakan pendapat sebagaimana yang dimaksud dalam konstitusi;
- Hentikan aparat TNI dan Polri yang melakukan provokasi terhadap warga yang tak tahu menahu tentang politik Papua merdeka dan NKRI harga mati;
- Berikan hak penentuan nasib sendiri untuk mengakhiri rasisme dan penjajahan di West Papua;
- Buka akses jurnalis nasional dan internasional di tanah Papua;
- Jokowi untuk segera memerintahkan Tito Karnavian dan Panglima TNI untuk segera memecat anggota
- TNI dan Polri yang terlibat dalam penggrebekan asrama mahasiswa Papua di Surabaya;
- Demiliterisasi Zona Nduga;
- Pemprov Papua dan Papua Barat segera melepaskan pakaian dinas;
- Usir penjajahan dari tanah Papua;
- Mendagri segera evaluasi Wali Kota Malang;
- Menolak perpanjangan otonomi khusus.
KESIMPULAN
Pemeriksaan fakta di atas menunjukkan bahwa munculnya narasi “Papua meminta Banser dibubarkan” berasal dari pernyataan anggota Dewan Perwakilan Daerah terpilih asal Papua, Yorrys Raweyai. Belakangan, Yorrys mengklarifikasi pemberitaan itu. Dengan demikian, narasi mengenai “Papua menuntut Banser dibubarkan” adalah keliru.
ZAINAL ISHAQ | IKA NINGTYAS
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cekfakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id