[Fakta atau Hoaks] Benarkah Pemerintahan Jokowi Akan Menaikkan Iuran BPJS Kesehatan?
Selasa, 27 Agustus 2019 20:12 WIB
Gambar tangkapan layar judul berita dari laman tempo.co soal pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi akan menaikkan iuran BPJS Kesehatan beredar di media sosial. Gambar itu diunggah oleh akun Facebook Irfan Fahrie Lazuardy pada Minggu, 25 Agustus 2019, dan diberi narasi bahwa begitulah cara rezim Jokowi memperlakukan rakyatnya.
Dalam unggahannya, Irfan Fahrie Lazuardy juga merinci rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk setiap kelasnya, yakni:
- Kelas 1: Rp 80.000 menjadi Rp 120.000
- Kelas 2: Rp 51.000 menjadi Rp 80.000
- Kelas 3: Rp 25.500 menjadi Rp 42.000
Hingga kini, gambar tangkapan layar itu telah dikomentari sebanyak 530 kali dan dibagikan sebanyak 5.200 kali.
PEMERIKSAAN FAKTA
Berdasarkan penelusuran Tempo, gambar tangkapan layar yang diunggah akun Facebook Irfan Fahrie Lazuardy merupakan judul berita dari laman tempo.co pada 16 Agustus 2019.
Pada artikel tersebut, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyetujui besaran kenaikan iuran kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional yang diusulkan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) kepada Presiden Jokowi.
"Ya, yang sesuai yang diberikan DJSN itu," kata Fachmi usai menghadiri acara BPJS Kesehatan Award di Jakarta pada Kamis, 15 Agustus 2019. BPJS memang menginginkan adanya penyesuaian iuran kepesertaan karena selama ini tidak ada perubahan nominal iuran sejak beberapa tahun terakhir.
Dalam rancangan usulan, iuran BPJS Kesehatan diperkirakan akan naik mulai dari Rp 16.500 hingga Rp 40.000 di setiap kelas kepesertaan yang berbeda-beda. Usulan kenaikan iuran kelas 1 tercatat sebagai yang paling signifikan, dari Rp 80.000 menjadi Rp 120.000.
Lalu, iuran kelas 2 diusulkan untuk naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 80.000. Sementara iuran kelas 3 diusulkan untuk naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.
Fachmi menegaskan pihaknya tidak turut campur tangan dalam penyusunan nominal kenaikan iuran seperti yang telah dilakukan DJSN. Dia menyebut BPJS Kesehatan hanya menyodorkan data-data mengenai besaran pengeluaran yang dibutuhkan untuk membiayai tiap peserta dan berbagai informasi lainnya.
"Memang yang mengusulkan DJSN, tapi apakah kita terlibat, tentu tidak. Itu keputusan policy. Kalau dari sisi teknis, misal kebutuhan data informasi utilisasi, berapa biaya selama ini pengeluaran per orang per bulan, kita support data. Itu saja posisi kita," kata Fachmi.
Fachmi menyebutkan saat ini BPJS Kesehatan hanya menunggu keputusan kenaikan jumlah iuran yang telah disepakati oleh pemerintah dan ditandatangani oleh Presiden Jokowi.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko sebelumnya memastikan iuran BPJS Kesehatan akan naik di semua kelas. Langkah ini diambil untuk menyelamatkan BPJS dari defisit yang terus naik.
"Semua kelas (akan naik). Karena antara jumlah urunan dengan beban yang dihadapi oleh BPJS tidak seimbang, sangat jauh," kata Moeldoko saat ditemui di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, pada Selasa, 6 Agustus 2019.
Moeldoko mengatakan Kantor Staf Kepresidenan selama ini kerap menerima persoalan-persoalan mengenai BPJS Kesehatan. Karena itu, ia merasa kenaikan ini adalah hal yang sangat wajar. Tahun ini, BPJS Kesehatan memang diprediksi akan mengalami defisit hingga Rp 29 triliun.
Selain sebagai langkah penyelamatan BPJS Kesehatan, Moeldoko juga menyebut kenaikan ini juga perlu, agar masyarakat sadar bahwa untuk sehat itu perlu biaya yang mahal. "Saya tak ingin ada istilah kesehatan itu murah. Sehat itu mahal. Kalau sehat itu murah, orang nanti menyerahkan ke BPJS. Mati nanti BPJS," ujar Moeldoko.
Dilansir dari portal berita CNNIndonesia, Kementerian Keuangan mengusulkan iuran BPJS Kesehatan kelas mandiri I naik 100 persen mulai 1 Januari 2020 mendatang. Dengan kenaikan ini, peserta yang tadinya membayar iuran Rp 80 ribu akan naik menjadi Rp 160 ribu per orang per bulan.
Untuk peserta kelas mandiri II, mereka usul agar iuran dinaikkan dari Rp 59 ribu per bulan menjadi Rp 110 ribu. Sementara itu, peserta kelas mandiri III dinaikkan Rp 16.500, yakni dari Rp 25.500 per bulan menjadi Rp 42 ribu per peserta.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kenaikan iuran ini akan membuat kinerja keuangan BPJS Kesehatan semakin sehat. Hitungannya, kalau kenaikan iuran dilakukan sesuai usulan Kemenkeu dan mulai diberlakukan pada 1 Januari 2019, kondisi keuangan BPJS Kesehatan yang selama ini defisit bisa berbalik menjadi surplus Rp 17,2 triliun.
"Nah, surplus itu bisa menutup defisit pada 2019. Pada tahun ini prediksi defisitnya Rp 14 triliun. Sudah ditutup pun masih surplus," ujar Sri Mulyani pada Selasa, 27 Agustus 2019.
Artinya, BPJS Kesehatan berpotensi meraup keuntungan Rp 3,2 triliun tahun depan setelah dikurangi perkiraan defisit pada 2019 yang sebesar Rp 14 triliun. Namun, Sri Mulyani belum menyebutkan dampak kenaikan iuran tersebut terhadap penurunan peserta.
Sementara itu, ia menyatakan bahwa kenaikan iuran ini juga akan sejalan dengan penambahan beban BPJS Kesehatan untuk membayar rawat inap. Makanya, Sri Mulyani memperkirakan surplus lembaga itu semakin berkurang pada 2021-2023.
"Surplus pada 2021 diperkirakan Rp 11,59 triliun, kemudian 2022 sebesar Rp 8 triliun, dan 2023 hanya Rp 4,1 triliun. Ini karena jumlah utilisasi meningkat," tuturnya.
Usulan Sri Mulyani bisa dibilang lebih tinggi dibandingkan dengan DJSN. Kelas mandiri I hanya diusulkan naik Rp 40 ribu menjadi Rp 120 ribu per bulan. Kemudian, kelas mandiri II naik Rp 24 ribu menjadi Rp 75 ribu per bulan. Sementara itu, usulan untuk kelas mandiri III sama, yakni menjadi Rp 42 ribu per bulan.
KESIMPULAN
Pemeriksaan fakta di atas menunjukkan bahwa benar iuran BPJS Kesehatan akan dinaikkan. Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyetujui besaran kenaikan iuran yang diusulkan oleh DJSN kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi itu. Menteri Keuangan Sri Mulyani pun mengatakan kenaikan iuran ini akan membuat kinerja keuangan BPJS Kesehatan semakin sehat. Namun, cara penyampaian atau kesimpulan unggahan akun Facebook tersebut keliru serta mengarahkan ke tafsir yang salah.
ZAINAL ISHAQ
Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cekfakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id