Fakta-fakta Deforestasi di Kawasan IKN

Senin, 4 Agustus 2025 12:30 WIB

Fakta-fakta Deforestasi di Kawasan IKN

Baru-baru ini, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mengomentari pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Ia menyebut proyek IKN kerap menjadi sasaran hoaks. Salah satunya, mengenai tudingan bahwa ibu kota baru itu dibangun dengan membabat hutan.

Menurut dia, hutan di kawasan IKN tersebut adalah jenis hutan produksi tanaman eukaliptus yang memang dibabat setiap enam hingga tujuh tahun. “Dulu itu banyak sekali hoaks soal IKN. Bangun istana di tengah hutan, membabat hutan, itu salah ya,” kata Gibran dalam pidatonya pada acara Green Impact Festival 2025, di Djakarta Theater, Jakarta Pusat, Kamis, 24 Juli 2025

Putra sulung mantan Presiden Joko Widodo ini juga mengklaim, pembangunan IKN justru akan mengembalikan hutan heterogen dengan pohon-pohon endemik Kalimantan seperti ulin, meranti, dan tekawang.

Berdasarkan pernyataan tersebut, Tempo memverifikasi dua pernyataan Gibran. Pertama, benarkah tidak ada pembabatan hutan selama proyek IKN berlangsung? Dan kedua, benarkah hutan di area IKN dapat dikembalikan menjadi hutan alami seperti sebelumnya?

Tim Cek Fakta Tempo memverifikasi pernyataan tersebut antara lain menggunakan aplikasi pemetaan digital; membandingkan data deforestasi yang dihimpun dari sejumlah organisasi lingkungan; menelusuri dokumen terbuka; dan mewawancarai peneliti hutan.

Jejak Deforestasi di Ibu Kota Nusantara

Advertising
Advertising

Sesuai UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, wilayah IKN ditetapkan seluas 256.142 hektare, plus area perairan seluas 68.188 ha. Lebih rinci, kawasan IKN ditetapkan seluas 56.180 ha, dengan 6.671 ha di antaranya merupakan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP). Kemudian, ada pula kawasan pengembangan IKN (KP-IKN) yang luasnya mencapai 199.962 ha.

Seperti diketahui, sepanjang 2022-2024, pemerintah telah membangun sejumlah infrastruktur di IKN. Seperti istana negara, gedung kantor kementerian dan lembaga negara, rumah susun aparatur sipil negara, jalan tol, jembatan, bendungan sumber air baku, dan sejumlah fasilitas lainnya.

Lalu, bagaimana sebetulnya kondisi hutan di sana? Mengutip laporan Yayasan Madani Berkelanjutan, tutupan hutan alam secara keseluruhan di wilayah IKN pada 2022 mencapai 44 ribu hektare. Dari jumlah tersebut, 96 persen atau setara 41 ribu hektare hutan berada di KP-IKN. Sedangkan sisanya, 2 ribu ha hutan alam berada di KIKN.

Untuk membandingkan visual udara sebelum dan setelah adanya pembangunan IKN, Tempo menggunakan Google Earth dan Google Map. Dari dua aplikasi itu, terlihat melalui citra satelit, pada 2022 tutupan hutan di sana masih rapat. Pembukaan kawasan hutan baru terlihat setelah sejumlah infrastruktur IKN dibangun pada 2025.

Perbandingan visual udara sebelum dan setelah adanya pembangunan IKN.

Pada 2024, Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat atau NASA juga merilis foto udara perubahan kawasan hutan di Kalimantan setelah pembangunan IKN. Berdasarkan citra tertanggal Februari 2024, tampak kawasan hutan yang dulunya hijau, mulai terkikis dibandingkan kondisi sebelumnya.

National Aeronautics and Space Administration Code (NASA) atau Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat menyoroti perubahan kawasan hutan di Kalimantan setelah adanya pembangunan Ibu Kota Nusantara atau IKN. Foto: NASA

Sementara itu, analisis dari Forest Watch Indonesia (FWI) mengungkapkan, deforestasi di IKN pada 2022 hingga Juni 2023, telah mencapai 1.663 hektare. Deforestasi kembali terjadi pada 2024, di mana ada pembukaan lahan seluas 1.716 hektare.

Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI Anggi Putra Prayoga mengatakan, deforestasi tersebut tidak hanya terjadi di area inti (KIPP), melainkan juga di Kawasan Pengembangan IKN.

Selain itu, Ia juga menyoroti bahwa deforestasi juga terjadi di wilayah penyokong pembangunan IKN seperti di Teluk Balikpapan. Hutan mangrove di kawasan ini rusak terdampak pembangunan IKN. “IKN kami anggap sebagai driver of deforestation (pemicu deforestasi),” kata Anggi kepada Tempo, Selasa 29 Juli 2025.

Pernyataan Anggi selaras dengan temuan Tempo edisi 9 Juni 2024. Dalam laporan itu, Sekitar empat hektare mangrove kuning yang penting bagi masyarakat adat setempat di hulu Teluk Balikpapan, ditebang untuk pembangunan pelabuhan dan dermaga logistik proyek IKN.

Peta deforestasi IKN mulai 2023-2023. Sumber: Forest Watch Indonesia

Analisis data dan spasial Yayasan Auriga dan Tempo pada 2024 juga menemukan pembukaan lahan (land clearing) seluas 2.464 hektare atau 37 persen dari total Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP). Pembukaan lahan mulai terjadi pada 2020 seluas 40 hektare di Desa Pemaluan, Kecamatan Sepaku. Setahun berikutnya, pembukaan lahan bertambah menjadi 148 hektare.

Intensitas pembabatan hutan mulai meningkat pada 2022, saat pembangunan infrastruktur dasar seluas 383 ha. Pembangunan akses jaringan jalan dan gedung pada 2023, menyebabkan pembukaan lahan mencapai 1.220 ha. Hingga 28 Februari 2024, pembukaan lahan di KIPP mencapai 1.543 ha.

Deforestasi hutan alam di kawasan IKN, diduga menjadi penyebab banjir di permukiman penduduk terdekat. Dikutip dari Tempo edisi 10 Maret 2024, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara mencatat, pada kurun 2017-2019, banjir paling sering terjadi di Kecamatan Sepaku.

Dari 13 banjir pada 2017, 14 kali terjadi di Sepaku. Tahun berikutnya, dari 21 kali banjir, 9 kali melanda Sepaku. Demikian juga saat IKN telah dibangun, terjadi dua kali banjir, yakni pada 17 Maret dan 2 Mei 2023. Banjir merendam persawahan dan permukiman di Sepaku.

Selain bencana, setidaknya ada empat wilayah adat yang terdampak proyek IKN. Empat wilayah ini dihuni 7 ribu jiwa warga adat berdasarkan data yang dihimpun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Komunitas adat yang tinggal di sana adalah, Balik Sepaku, Balik Pemaluan, Maridan, dan Mentawir.

Hutan Alam Kalimantan yang Semakin Terancam

Sebelum pembangunan IKN, deforestasi besar-besaran pada hutan alam di Kalimantan Timur sudah terjadi. Greenpeace menyatakan, seluas 55,1 ribu hektare tutupan hutan alam di kawasan tersebut hilang pada periode 2001-2020. Hilangnya tutupan hutan alam selama dua dekade ini menimbulkan 49,15 juta ton emisi karbon dioksida.

Program Lead Yayasan Madani Berkelanjutan Yosi Amelia menjelaskan, penyusutan luas hutan alam di Kalimantan Timur tersebut dipicu oleh obral izin konsesi oleh pemerintah. Konsesi itu mencakup hutan tanaman industri, penebangan (logging), dan perkebunan sawit. IKN dibangun di atas carut-marutnya konsesi tersebut.

“Jadi, kawasan IKN itu tidak benar-benar clean and clear,” kata Yosi kepada Tempo, Selasa 29 Juli 2025.

Salah satu pemegang izin hutan tanaman industri di kawasan IKN adalah adalah PT ITCI Hutani Manunggal, anak usaha Royal Golden Eagle (RGE)--korporasi milik taipan Sukanto Tanoto–melalui Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL) Group.

Perusahaan ini memegang konsesi seluas ±161.127 ha sejak 1996 dan telah mengubah hutan alam untuk ditanami akasia dan eukaliptus. Pada periode 2021-2022, sekitar 921 hektare wilayah konsesi PT ITCI Hutani Manunggal dibabat untuk pembangunan kawasan inti IKN pada kurun 2021-2022.

Menurut Yosi, pembangunan IKN yang terus berlanjut semakin mengancam hutan alam yang tersisa. Sebab, data Yayasan Madani Berkelanjutan menunjukan, dari 44 ribu hektare tutupan hutan alam yang tersisa pada 2022, hanya 22,8 ribu ha atau 55 persen yang terlindungi karena berada di area konservasi.

Sisanya, seluas 18,7 ribu ha, berada di kawasan hutan produksi dan area penggunaan lain yang dapat dieksploitasi. Bahkan, lebih dari 20 ribu ha hutan alam di Kawasan Pengembangan IKN, juga berada di area izin perkebunan sawit, konsesi tambang mineral, batu bara, dan migas, serta kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu (logging).

Rencana pemerintah untuk menanam ulang lahan yang terdeforestasi dengan tanaman endemik di IKN, menurut Yosi, tidak akan mengembalikan hutan alam Kalimantan Timur seperti semula.

Sebagai ekosistem, kata dia, hutan alam memiliki fungsi yang kompleks, di antaranya menjaga keanekaragaman hayati, pengatur siklus air, penyangga dari bencana, serta menjadi ruang hidup masyarakat adat dan penduduk lokal.

“Fungsi ekologis ini tidak akan pulih dengan reforestasi,” kata lulusan Meteorologi dari Institute Teknologi Bandung ini.

Dia menegaskan, langkah terbaik saat ini, dengan moratorium pembukaan hutan, melindungi hutan alam yang tersisa dengan memperketat pengawasan dan penegakan hukum.

Dikonfirmasi terpisah ihwal pembukaan lahan di IKN, Staf Khusus Kepala Otorita IKN Bidang Komunikasi Publik Troy Harrold Yohanes Pantouw menyatakan pembangunan KIPP tidak dilakukan dengan membabat hutan alam primer. Sebab kawasan inti tersebut berada di atas lahan berstatus areal penggunaan lain (APL) bekas hutan tanaman industri.

“Secara regulasi diperbolehkan untuk kegiatan pembangunan,” kata Troy dalam pesan tertulis kepada Tempo, Kamis, 31 Juli 2025.

Sebagai Lahan bekas tanaman industri, kata dia, kawasan tersebut tidak memiliki fungsi ekologis seperti hutan alam. Sebab wilayah itu merupakan area monokultur dengan sistem panen berkala.

Adapun, untuk mengembalikan fungsi ekologis di wilayah IKN, Troy mengatakan, Otorita IKN menetapkan 75 persen area IKN sebagai ruang hijau penyangga ekosistem. Untuk mencapai target ini, penanaman pohon asli Kalimantan dilakukan dengan pola tanam campuran dan mempertimbangkan daya dukung habitat satwa liar.

“Ini bukan sekedar tanam ulang, tapi untuk membangun kembali struktur hutan ,” kata dia. (*)

**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id