Keliru: Bell's Palsy karena Virus yang Tertiup Angin
Jumat, 20 Juni 2025 16:23 WIB

SEBUAH video dengan klaim bahwa penyakit Bell’s palsy ditularkan oleh virus yang tertiup angin, beredar di akun media sosial Instagram [arsip] pada 3 Juni 2025.
Video itu berisi testimoni seorang perempuan yang tiba-tiba menderita Bell’s palsy saat bangun dari tidur. Wajah bagian kanan terlihat turun, mata tidak bisa menutup, dan posisi bibir miring. Saat berobat ke dokter, dia memperoleh obat antivirus, antiinflamasi, serta harus mengikuti fisioterapi.
Lalu, benarkah Bell's palsy karena virus yang tertiup angin?
PEMERIKSAAN FAKTA
Tempo memverifikasi klaim itu dengan mewawancarai dokter spesialis syaraf dan menggunakan sumber dari jurnal kredibel. Hasilnya, narasi yang disebarkan tersebut tidak berdasarkan fakta dan bukti ilmiah.
Dokter Spesialis Syaraf Rumah Sakit Mitra Keluarga Waru, Jawa Timur, dr. Devi Ariani Sudibyo, Sp.S (K), mengatakan, orang yang mengalami Bell’s palsy mengalami kelumpuhan atau kelemahan mendadak pada otot-otot wajah. Penyakit ini dapat muncul dengan cepat kurang lebih selama 72 jam, ditandai dengan kelemahan atau kelumpuhan, baik pada bagian atas (dahi, kelopak mata) maupun bagian bawah (pipi, mulut) wajah.
Gejala tambahan lainnya berupa nyeri di bagian belakang telinga (retroaurikuler), peka terhadap suara (hiperakusis), berkurangnya produksi air mata (lakrimasi), dan gangguan pengecapan.
Meski penyebab pastinya belum solid, Bell’s palsy diduga terkait dengan reaktivasi virus herpes simpleks (HSV-1) atau virus lain (VZV, EBV). Juga berhubungan dengan gangguan autoimun atau hiperglikemia. “Jadi, tidak benar penyakit ini disebabkan oleh virus yang tertiup angin,” kata Deviriani Sudibyo kepada Tempo, Rabu, 18 Juni 2025.
Menurut Devi, mereka yang menderita Bell’s palsy akan mendapatkan terapi Kortikosteroid, obat antiinflamasi untuk mengurangi peradangan pada wajah. Jika diberikan dalam 72 jam pertama, efektivitas terapi tersebut cukup tinggi. Obat lainnya berupa antivirus acyclovir atau valacyclovir.
Terapi berikutnya untuk kelopak mata yang tidak bisa menutup, dengan memberikan tetes mata lubrikan, salep mata malam hari dan penutup mata saat tidur. “Selanjutnya adalah melakukan rehabilitasi, yaitu berupa fisioterapi wajah, dan latihan otot wajah,” kata dia.
Para ilmuwan menemukan beberapa infeksi virus dapat memicu peradangan pada saraf dan menyebabkan Bell's palsy. Infeksi tersebut meliputi:
- Herpes simpleks 1, virus yang menyebabkan infeksi mulut seperti luka dingin)
- Virus varicella-zoster (cacar air dan herpes zoster).
- Virus Epstein-Barr (mononukleosis )
- COVID 19
Pemicu lainnya yang mungkin termasuk melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat stres,penyakit, kurang tidur, trauma fisik, dan kondisi autoimun. Resiko terserang penyakit ini meningkat pada orang dengan diabetes, kehamilan preeklamsia, obesitas (BMI 30 atau lebih tinggi), tekanan darah tinggi (hipertensi) dan pernah menderita Bell's palsy sebelumnya.
Bell's palsy bukanlah kondisi yang serius. Sebagian besar kasus akan hilang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Namun, gejala Bell's palsy mirip dengan kondisi medis yang serius seperti stroke. Inilah mengapa penting untuk menemui penyedia layanan kesehatan segera setelah menyadari kelemahan otot di wajah.
KESIMPULAN
Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa klaim Bell's palsy karena virus yang tertiup angin adalah keliru.
TIM CEK FAKTA TEMPO
**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id