Keliru: Obat Cacing dan Vaksin untuk Menyebarkan Virus Baru

Jumat, 13 Juni 2025 19:15 WIB

Keliru: Obat Cacing dan Vaksin untuk Menyebarkan Virus Baru

SEBUAH konten media sosial Facebook [arsip] memuat gambar dr. Agung Sapta Adi dengan narasi tentang penyebaran virus baru melalui obat cacing dan vaksin. Pesannya mengajak orang agar menolak program bagi-bagi obat cacing, imunisasi, dan vaksin dari Kementerian Kesehatan. Program tersebut disinyalir bagian dari misi global untuk menyebarkan virus baru.

“Target utama mereka adalah sekolah-sekolah dan keluarga yang awam terhadap kesehatan,” bunyi takarir disertai foto dr. Agung tersebut.

Tempo mendapat permintaan pembaca untuk memeriksa benarkah obat cacing dan vaksin untuk sebarkan virus baru?

PEMERIKSAAN FAKTA

Tempo memverifikasi klaim itu dengan bantuan mesin penelusuran Google dan wawancara ahli. Hasilnya, narasi yang disebarkan tersebut tidak berdasarkan fakta dan bukti ilmiah.

Advertising
Advertising

Menurut peneliti dan virolog dari Universitas Airlangga (UNAIR), Dr. Arif Nur Muhammad Ansori, obat cacing yang diberikan di sekolah-sekolah untuk mencegah anak-anak Indonesia dari infeksi cacing. Sebab, anak yang terinfeksi cacing dapat mengganggu tumbuh kembang dan konsentrasi belajar. “Ini adalah program yang sudah dijalankan sejak lama dan terbukti aman,” kata Arif Nur Muhammad Ansori kepada Tempo, Kamis, 15 Mei 2025.

Sejauh ini tidak ada bukti bahwa obat cacing dapat menumbuhkan virus baru. Sebaliknya, data dari hasil evaluasi Kementerian Kesehatan pasca pemberian obat cacing pada kurun 2017 hingga 2021, 66 daerah menunjukkan prevalensi cacingan menjadi lebih rendah di bawah 5 persen. Sedangkan 26 kab/kota memiliki prevalensi di atas 10 persen.

Salah satu infeksi cacing yang sering ditemukan di Indonesia yakni Filariasis limfatik atau kaki gajah. Penyakit ini memiliki rentang prevalensi antara 0,5 hingga 27,6 persen. Studi tahun 2019 menyebutkan sebanyak 514 kecamatan dalam 236 kota masih tercatat sebagai daerah endemis filariasis.

Arif Nur Muhammad justru khawatir, imbauan tidak mengkonsumsi obat cacing dengan narasi yang tidak akurat, mendorong mewabahnya penyakit berbahaya.

Profesor bidang Mikrobiologi Klinis Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. dr. Amin Soebandrio, PhD., menegaskan, pemberantasan infeksi cacing penting lantaran terkait dengan pencegahan stunting. Apalagi jika pemberian obat cacing di sekolah dan imunisasi dituduh sebagai upaya untuk menyebarkan virus baru. “Itu sebenarnya isu yang harus dipisahkan,” kata dia saat ditemui Tempo, Jumat, 13 Juni 2025.

Vaksin juga tidak memunculkan virus baru

Teknologi pembuatan vaksin, baik itu berbasis DNA maupun RNA, saat ini cukup aman. Vaksin RNA dan DNA menggunakan materi genetik dari virus atau bakteri, berfungsi untuk memberikan instruksi kepada tubuh untuk membuat protein asing. Tubuh kemudian diajarkan untuk mengenali protein tersebut sebagai ancaman dan melawannya.

“Sampai saat ini belum ada bukti saintifik yang menyatakan vaksin DNA tidak aman. Vaksin itu kan, fungsinya melemahkan virus yang sudah ada, bukan bikin virus baru,” ujar Prof. Amin.

Dikutip dari Rumah Sakit Anak Philadelphia, vaksin berbasis DN tidak dapat mengubah DNA seseorang melalui vaksinasi. Meskipun adenovirus adalah virus DNA, enzim yang diperlukan untuk mengubah DNA, yang disebut integrase, tidak ada dalam proses tersebut. Sebagai keluarga virus, adenovirus memang tidak memiliki kemampuan sebagai kendaraan pengantar (delivery vehicle) dalam vaksinasi.

Mengenai keamanan vaksin, riset oleh Southern California Evidence-based Practice Center (EPC) menemukan bahwa sebagian besar vaksin yang direkomendasikan untuk orang dewasa, anak-anak, dan wanita hamil tidak menunjukkan bukti baru adanya peningkatan risiko kejadian ikutan serius.

Khusus vaksin yang direkomendasikan bagi anak-anak dan remaja, tidak ditemukan bukti baru mengenai peningkatan risiko kejadian ikutan utama, atau bukti dianggap tidak cukup. Ini termasuk vaksin baru seperti vaksin HPV 9-valen dan vaksin meningokokus B.

Vaksin mengajarkan sistem imun tubuh untuk mengenali dan merespons bakteri atau virus. Beberapa vaksin mengandung versi patogen yang dilemahkan, seperti vaksin campak, gondongan, rubela, rotavirus, dan cacar air. Beberapa vaksin mengandung virus yang telah dimatikan, seperti vaksin flu, polio, hepatitis A, dan rabies. Beberapa vaksin, seperti vaksin COVID-19, memberikan instruksi kepada sistem imun untuk membuat antibodi sebagai respons terhadap virus.

Selama bertahun-tahun, tinjauan sistematis terhadap penelitian mengenai keamanan vaksin telah menunjukkan bahwa vaksin itu aman, dan efek samping negatifnya jarang terjadi atau sangat jarang.

Bahkan 27 penelitian telah menunjukkan bahwa vaksin tidak menyebabkan autisme. Sebaliknya, American Academy of Pediatrics (Akademi Pediatri Amerika) tidak menemukan hubungan antara vaksin dan autisme dalam penelitian yang membandingkan ribuan anak penerima vaksin Campak, Gondongan dan Rubella (MMR) dengan ribuan anak yang tidak menerimanya.

KESIMPULAN

Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa klaim obat cacing dan vaksin untuk sebarkan virus baru adalah keliru.

TIM CEK FAKTA TEMPO

**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id