Keliru, Penolakan terhadap Program Food Estate di Papua Hanya Hoaks
Rabu, 13 November 2024 18:21 WIB
Sebuah video dan gambar beredar di TikTok [arsip], akun Twitter ini, ini, ini, ini dan ini, serta akun Facebook ini, ini, ini, ini, ini, ini, dan ini, yang berisi narasi bahwa penolakan terhadap program cetak sawah atau food estate di Merauke hanyalah hoaks.
Gambar itu berupa infografis yang memperlihatkan foto Presiden RI Prabowo Subianto dan Menteri Pertanian RI Andi Amran. Judul yang tertera berbunyi “Hoaks! Isu Penolakan Cetak Sawah 1 Juta Ha di Papua Selatan.”
Berikut narasi yang disertakan: Informasi mengenai penolakan Lumbung Pangan di Papua adalah hoaks. Program ini justru disambut baik sebagai upaya peningkatan ketahanan pangan. #LumbungPanganPapua
Namun, benarkah penolakan terhadap program cetak sawah satu juta hektare itu hanyalah hoaks?
PEMERIKSAAN FAKTA
Program cetak sawah satu juta hektare di Papua selatan merupakan program pemerintahan Prabowo yang kontroversial. Masyarakat adat di Papua, sejumlah aktivis dan akademisi menolak dan mengkritik program tersebut.
Dilansir Majalah Tempo edisi 22 September 2024, perencanaan dan pelaksanaan program cetak satu juta sawah di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, direncanakan oleh Prabowo sejak jauh hari dan perencanaan dimatangkan jelang dia dilantik sebagai Presiden pada 20 Oktober 2024.
Proses-proses itu melibatkan Kementerian Pertahanan (Kemhan), lembaga yang dipimpin Prabowo sebelum menjadi presiden, Kementerian Pertanian (Kementan), PT Sucofindo, dan perusahaan Jhonlin Group milik pengusaha tambang Andi Syamsuddin Arsyad atau Haji Isam yang merupakan sepupu Amran.
Berdasarkan dokumen paparan PT Sucofindo terkait uji kelayakan program tersebut yang berjudul “Studi Kelayakan: Kawasan Sentra Produksi Pangan di Kabupaten Merauke,” lahan seluas 1,18 juta hektare di Kabupaten Merauke akan dijadikan sawah.
Namun setelah kedatangan petugas PT Sucofindo di Merauke, dan tahu bahwa tanah ulayat akan dijadikan sawah, masyarakat adat di Kampung Bibikem, Distrik Ilwayab, dan Kampung Es Wambi, Distrik Okaba, Kabupaten Merauke, menyatakan penolakan. Majalah Tempo telah memberitakan penolakan tersebut di edisi yang sama.
Selain itu, pelaksanaan proyek tersebut telah dimulai, padahal belum memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Hanif Faisol Nurofiq mengatakan, kegiatan awal itu masih di area hutan produksi sehingga hanya membutuhkan dokumen upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL).
Dilansir Kompas.com pada 17 Oktober 2024, kelompok masyarakat adat Papua Selatan yang menamakan diri Solidaritas Merauke bersama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), menyatakan penolakan terhadap proyek strategis nasional (PSN) food estate di Kabupaten Merauke.
Aktivis LBH Papua Pos Merauke, Teddy Wakum, menyatakan rencana pelaksanaan program tersebut cenderung tertutup alias tidak transparan. Hal itu menandakan program dilaksanakan tanpa menghormati otoritas masyarakat adat di sana.
Perwakilan masyarakat adat terdampak dari Kampung Wogekel, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke, Yasinta Gebze, di lahan yang akan dijadikan sawah dan infrastrukturnya, alat berat telah dioperasikan tanpa memperhatikan tanda-tanda tertentu yang selama ini dihormati masyarakat adat.
“Kami terluka dan berduka karena tanah dan hutan adat, tempat hidup binatang dan tempat sakral Alipinek yang kami lindungi, yang diwariskan oleh leluhur kami, dihancurkan tanpa tersisa," kata Yasinta.
Pendapat Akademisi
Para akademisi pun memiliki pendapat yang berbeda tentang pelaksanaan proyek food estate tersebut, ada yang bersifat positif, ada juga yang negatif. Misalnya Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Profesor Dwi Andreas Santosa, yang memprediksi proyek itu akan gagal.
Dilansir Tempo, Andreas mengatakan dalam proyek-proyek serupa sebelumnya yang selalu gagal, pemerintah tidak belajar dari kegagalan itu karena hanya berfokus pada pembabatan hutan.
"Kesalahan yang sama mau diulang lagi, sehingga saya pastikan hasilnya nanti pasti gagal,” kata Andreas kepada Tempo pada Senin, 16 September 2024.
Sebaliknya, Prof Totok Agung Dwi Haryanto dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto menyatakan proyek tersebut bisa berhasil karena pemerintah telah belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, sebagaimana diberitakan Antaranews.com.
KESIMPULAN
Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa narasi yang mengatakan isu penolakan program food estate di Papua Selatan, termasuk hoaks merupakan klaim yang keliru.
Penolakan telah diungkapkan oleh masyarakat adat di Kampung Bibikem dan Kampung Wogekel di Distrik Ilwayab, serta warga Kampung Es Wambi di Distrik Okaba, Kabupaten Merauke.
TIM CEK FAKTA TEMPO
** Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id