Keliru, Monkeypox Merebak di Semua Negara dengan Tingkat Vaksinasi Covid-19 Tinggi
Jumat, 8 November 2024 15:29 WIB
Sebuah narasi beredar di Facebook [arsip] yang menyatakan virus Monkeypox (Mpox) atau cacar monyet menjadi wabah yang merebak di negara-negara dengan tingkat vaksinasi yang tinggi.
Pengunggah konten itu menyebut informasi tersebut dikutip dari seorang virologi terkemuka Dr. Poornima Wagh. Menurut dia, virus Mpox tidak pernah ada karena penyakit tersebut hanya efek dari vaksinasi COVID-19 secara massal yakni berupa autoimun.
Artikel ini akan memverifikasi dua hal: benarkah Mpox efek dari vaksin COVID-19 berupa autoimun? Kedua, benarkah Mpox banyak muncul di negara-negara dengan tingkat vaksinasi COVID-19 yang tinggi?
PEMERIKSAAN FAKTA
Sesungguhnya vaksin Covid-19 dan virus Mpox memiliki faktanya masing-masing dan tidak saling terhubung. Hal itu bisa diketahui dengan cara menelusuri informasi tentang waktu dan tempat kemunculannya, serta gejala yang muncul, dari sumber-sumber valid.
Klaim 1: Mpox efek dari vaksin COVID-19 berupa autoimun
Fakta: Mpox, COVID-19 dan autoimun sesungguhnya jenis penyakit yang berbeda, baik penyebab, gejala dan awal kemunculannya.
Autoimun terjadi ketika imun di dalam tubuh melakukan reaksi imunitas terhadap organ di dalam tubuh Anda sendiri. Secara otomatis sel imun akan 'merusak' sel lain dalam tubuh Anda yang dianggap benda asing. Dikutip dari Hopkins Medicine, Dokter Spesialis Kesehatan Masyarakat, Ana-Maria Orbai, menjelaskan penyakit autoimun ada yang disebabkan oleh faktor genetik dari keluarganya, kemungkinan juga karena stres pada tubuh seseorang melebihi kemampuan sistem imun untuk mengatasinya.
Tempo pernah mempublikasikan bahwa gejala yang ditimbulkan autoimun mirip dengan penyakit lainnya, seperti kelelahan, penurunan berat badan, bengkak dan kemerahan, demam, mual, diare, dan sebagainya. Itu sebabnya, penyakit ini umumnya tidak langsung bisa diketahui dari gejala saja. Penyakit ini sebenarnya ada sejak lama, tapi baru tahun 2000-an menjadi sorotan dunia medis.
Dilansir website Badan Kesehatan Dunia (WHO), Mpox adalah penyakit yang disebabkan cacar monyet dengan gejala ruam kulit atau lesi mukosa yang dapat berlangsung 2–4 minggu disertai demam, sakit kepala, nyeri otot, nyeri punggung, energi rendah, dan pembengkakan kelenjar getah bening.
Penularan virus cacar monyet bisa terjadi melalui kontak dekat dengan orang yang menderita penyakit tersebut, atau benda yang terkontaminasi, misal penggunaan jarum suntik bergantian. Bisa juga melalui kontak dengan hewan yang terinfeksi. Penularan pada bayi juga bisa terjadi saat kehamilan, kelahiran ataupun setelah kelahiran. Orang yang memiliki banyak pasangan seksual juga memiliki risiko lebih tinggi tertular Mpox.
Virus yang menyebabkan sakit Mpox ditemukan pada koloni monyet yang dipelihara untuk penelitian tahun 1958, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat. Meskipun disebut cacar monyet, penyebab awal munculnya penyakit itu belum diketahui secara pasti.
Kasus pertama orang terinfeksi Mpox terjadi di wilayah yang saat ini bernama negara Kongo, di Afrika bagian tengah, tahun 1970. Kemudian tahun 2022, diketahui virus itu menular ke berbagai negara.
Sedangkan COVID-19, dilansir website Federasi Internasional Produsen dan Asosiasi Farmasi (IFPMA) virus COVID-19 yang diketahui merebak di Kota Wuhan, Cina, pada akhir 2019 menyebabkan terjadinya pandemi global yang diakui secara resmi pada Maret 2020.
Sejak saat itu, pengembangan vaksin untuk melawan virus tersebut dilakukan secara kolaboratif untuk mempercepat pembuatan vaksin yang efektif dan aman. Pada Desember 2020, vaksin Covid-19 Pfizer-BioNTech diluncurkan dengan izin darurat di Inggris.
Vaksin lainnya diproduksi dan diedarkan se lolos berbagai uji, seperti Moderna, Sinovac dan AstraZeneca. Satu tahun kemudian, atau pada Desember 2021, setengah penduduk bumi atau sekitar 4 miliar manusia telah divaksin Covid-19.
Klaim 2: Mpox banyak muncul di negara-negara dengan tingkat vaksinasi COVID-19 yang tinggi
Fakta: Meski Mpox tidak terkait sebagai efek samping vaksin COVID-19, klaim bahwa kasus Mpox berada di negara-negara dengan persentase vaksinasi COVID-19 tertinggi juga tidak akurat.
Dilansir dashboard vaksinasi di website Badan Kesehatan Dunia (WHO), sepuluh negara yang dengan persentase tertinggi melakukan vaksinasi minimal satu dosis hingga 31 Desember 2023 adalah Brunei Darussalam, Nauru, Nieu, Palau, Puerto Rico, Tokelau, UAE, Qatar, Nikaragua, dan Nepal.
Sedangkan negara-negara yang persentase tertinggi memberikan vaksinasi minimal satu kali booster yakni Chile, Bhutan, Singapura, Islandia, Brunei Darussalam, Kuba, Irlandia, Niue, Italia, dan Finlandia.
Sementara sebuah penelitian di Jurnal Heliyon edisi Januari 2024, menyatakan sepuluh negara paling banyak terinfeksi Mpox adalah Amerika Serikat (26.834 kasus), Brasil (8.521 kasus), Spanyol (7.239 kasus), Prancis (4.064 kasus), Inggris (3.654 kasus), Jerman (3.651 kasus), Peru (2.768 kasus), Kolombia (2.730 kasus), Meksiko (2.147 kasus), Canada (1.411).
Jurnal tersebut mengutip data dari WHO, yang dikumpulkan dari pemerintah masing-masing negara sejak 2022. Tahun 2024, sebaran Mpox kembali terkonsentrasi di Afrika, sebagaimana dilaporkan Al Jazeera.
KESIMPULAN
Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa narasi yang mengatakan negara yang tingkat vaksinasi Covid-19-nya tinggi memiliki banyak kasus Mpox, adalah klaim yang keliru.
Penyakit Mpox lebih dulu terjadi pada sekitar 1970 yang disebabkan oleh virus cacar monyet. Sedangkan vaksin COVID-19 baru diproduksi pada tahun 2020, setelah merebaknya penyakit yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2.
TIM CEK FAKTA TEMPO
**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id