Keliru, Klaim Vaksin Cacar Monyet Sebagai Vaksin Eksperimental dan Dikaitkan sebagai Penyakit LGBT

Kamis, 24 Oktober 2024 14:51 WIB

Keliru, Klaim Vaksin Cacar Monyet Sebagai Vaksin Eksperimental dan Dikaitkan sebagai Penyakit LGBT

Sebuah infografis tentang tiga calon vaksin cacar monyet RI dibagikan di Facebook [arsip] pada 16 Agustus 2024. Pengunggah konten tersebut mengklaim bahwa vaksin-vaksin tersebut tergolong vaksin eksperimental untuk kasus mpox. Dia juga menyebut cacar monyet sebagai penyakit LGBT.

Narasi selengkapnya: Bersiaplah untuk omong kosong vaksin berikutnya, rezim sudah menyiapkan vaksin eksperimental, sama seperti dulu Covid, untuk penyakit LGBT Cacar Monyet /Monkeypox. Satu kata: TOLAK !!

Benarkah vaksin mpox adalah vaksin eksperimental dan terkait dengan penyakit LGBT?

PEMERIKSAAN FAKTA

Advertising
Advertising

Hasil verifikasi Tempo, infografis tersebut dipublikasikan oleh situs berita Sindonews.com pada 8 September 2022 dengan judul “Ini 3 Calon Vaksin Cacar Monyet yang Sudah Dipesan Indonesia”. Ketiga vaksin tersebut yakni Imvamune, LC16M8, dan ACAM2000. Dalam artikel tidak pernah disebutkan bahwa ketiga vaksin tersebut adalah vaksin eksperimental.

Peneliti virologi dari Universitas Airlangga, Dr. Arif Nur Muhammad Ansori, M.Si mengatakan bahwa vaksin mpox adalah "vaksin eksperimental" yang diberikan kepada masyarakat tanpa cukup uji keamanan dan efektivitas adalah keliru.

Faktanya, lanjut Arif, ketiga vaksin tersebut untuk mencegah Mpox telah lama digunakan untuk melawan penyakit cacar (smallpox). Cacar yang disebabkan oleh virus variola, berasal dari golongan genus Orthopoxvirus, yang sama dengan virus penyebab Mpox.

“Oleh karena itu, vaksin cacar terbukti efektif dalam mencegah infeksi mpox,” kata Arif, Rabu, 23 Oktober 2024.

Vaksin Imvamune (Jynneos) diproduksi oleh Bavarian Nordic, perusahaan bioteknologi Denmark dan disetujui oleh badan kesehatan di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Uni Eropa untuk pencegahan cacar dan mpox.

Jenis LC16M8 dikembangkan di Jepang sebagai vaksin generasi baru untuk cacar dan memiliki profil keamanan yang lebih baik dibandingkan vaksin generasi sebelumnya.

Sedangkan ACAM2000 adalah vaksin cacar generasi kedua yang disetujui oleh Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan Amerika Serikat. Vaksin ini digunakan secara terbatas untuk individu dengan risiko paparan tinggi termasuk petugas kesehatan.

Menurut Arif, tidak ada unsur eksperimen dalam distribusi vaksin tersebut. Vaksin mpox telah melewati uji klinis yang ketat dan telah digunakan di banyak negara untuk menangani wabah mpox.

“Di Indonesia sendiri, vaksin Imvamune telah disalurkan sejak Oktober 2023 untuk kelompok berisiko tinggi, yang termasuk dalam strategi nasional pencegahan Mpox,” kata Arif yang masuk Top 2 Percent World's Scientist 2024 ini.

Semua vaksin yang digunakan dalam pencegahan mpox, baik Imvamune, LC16M8, maupun ACAM2000, telah melalui berbagai tahapan uji klinis yang ketat sebelum mendapatkan persetujuan untuk digunakan oleh badan regulasi internasional seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) di Amerika Serikat, Badan Kesehatan Dunia (WHO), dan badan kesehatan di negara-negara lain, termasuk Indonesia.

Fakta bahwa vaksin ini berasal dari penelitian yang sudah dilakukan sejak dekade sebelumnya membuktikan bahwa tidak ada proses terburu-buru atau eksperimen yang tidak terkontrol.

Dalam konteks Indonesia, kata Arif, vaksin Imvamune didatangkan dengan ribuan dosis awal, dan saat ini pemerintah telah menyiapkan lebih banyak dosis untuk mendukung program vaksinasi bagi kelompok berisiko. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga telah menyetujui distribusi vaksin ini, memastikan bahwa vaksin yang digunakan memenuhi standar keamanan dan kualitas yang berlaku.

Hal yang sama diungkapkan peneliti dari Associate Professor di Monash University Indonesia dan epidemiologis di Oxford University Clinical Research Unit (OUCRU) Indonesia, Henry Surendra. Menurut dia, vaksin tersebut direkomendasikan WHO yang sudah terbukti aman dan efektif untuk penyakit cacar, tetapi kemudian dikembangkan dan diperluas penggunaannya untuk pencegahan mpox.

“Jadi dasar dan bukti ilmiahnya memang sudah ada. Hanya saja penggunaan vaksin tersebut direkomendasikan bagi kelompok berisiko tinggi untuk tertular Mpox, dan dalam konteks outbreak/kejadian luar biasa,” kata Henry kepada Tempo.

Vaksin untuk Kelompok Berisiko Tinggi

Salah satu informasi yang juga sering disalahpahami adalah anggapan bahwa vaksin mpox akan diberikan kepada seluruh masyarakat. Pada kenyataannya, vaksin ini tidak diberikan secara massal melainkan ditargetkan kepada kelompok tertentu yang dianggap beresiko tinggi terhadap penularan mpox. Di Indonesia, vaksin ini diberikan kepada:

- Orang yang melakukan kontak erat dengan pasien mpox terkonfirmasi, termasuk anggota keluarga atau rekan sekamar.

- Petugas kesehatan yang terlibat dalam perawatan pasien mpox atau dalam kontak langsung dengan sampel pasien.

- Pria yang melakukan hubungan seksual dengan pria (MSM), terutama mereka yang memiliki banyak pasangan, karena pola penyebaran penyakit ini lebih mudah terjadi dalam jaringan sosial yang kecil dan terhubung erat.

Penting untuk ditekankan bahwa walaupun sebagian besar kasus mpox yang terlapor adalah di antara pria yang berhubungan seks dengan pria, penyakit ini tidak eksklusif untuk kelompok tertentu saja. Mpox dapat menular ke siapa saja yang melakukan kontak kulit dekat dengan orang yang terinfeksi, baik melalui hubungan seksual maupun kontak fisik lainnya.

“Oleh karena itu, menyebut penyakit ini sebagai "penyakit LGBT" adalah salah dan berpotensi menimbulkan stigma yang tidak berdasar,” tegas Arif.

WHO merekomendasikan vaksinasi bagi orang-orang yang berisiko tinggi terkena mpox saat terjadi wabah, seperti petugas kesehatan atau orang yang pernah melakukan kontak dengan pengidap mpox. Selama wabah, WHO juga merekomendasikan vaksinasi untuk anak-anak yang berisiko tinggi terpapar.

Wisatawan yang mungkin berisiko, berdasarkan penilaian risiko individu oleh penyedia layanan kesehatan mereka, mungkin ingin mempertimbangkan vaksinasi.

Baik sudah divaksin atau belum, tetap berhati-hati agar tidak tertular dan menyebarkan mpox. Hal ini karena diperlukan waktu beberapa minggu untuk mengembangkan kekebalan setelah vaksinasi dan karena beberapa orang mungkin tidak memberikan respons penuh terhadap vaksinasi. Bagi mereka yang tertular mpox setelah vaksinasi, vaksin tersebut tetap melindungi dari penyakit parah dan rawat inap.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pemeriksaan fakta, Tim Cek Fakta Tempo menyimpulkan bahwa klaim vaksin Mpox sebagai vaksin eksperimental adalah keliru.

Vaksin tersebut sudah melewati uji klinis yang ketat dan sudah mendapat rekomendasi dari lembaga berwenang dunia seperti WHO.

TIM CEK FAKTA TEMPO

** Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id