Keliru, Video Berisi Klaim Covid-19 adalah Kebohongan Berkedok Ilmuwan dan Flu Burung Disiapkan sebagai Pandemi Berikutnya

Rabu, 29 Mei 2024 09:19 WIB

Keliru, Video Berisi Klaim Covid-19 adalah Kebohongan Berkedok Ilmuwan dan Flu Burung Disiapkan sebagai Pandemi Berikutnya

Sebuah akun Instagram membagikan video dengan klaim bahwa Covid-19 adalah kebohongan berkedok ilmuwan yang saat ini terbongkar di Amerika Serikat. Klaim itu dihubungkan dengan cuitan pemilik X, Elon Musk yang mendesak penuntutan terhadap Fauci dengan membagi pemberitaan New York Post edisi 16 Mei 2024 berjudul “Sick Lies: After Year Falsehoods, health official admits US funded dangerous virus research at China’s Covid Lab”.

Pemberitaan itu terkait rapat dengar pendapat yang digelar oleh Kongres Amerika Serikat terhadap Wakil Direktur Utama Institut Kesehatan Nasional (NIH), Lawrence Tabak pada 16 Mei 2024. Pengunggah konten itu juga mengklaim bahwa Pandemic Treaty saat ini sedang menggadang-gadang virus H5N1 flu burung sudah disiapkan sebagai pandemi berikutnya setelah Covid-19.

Sejak dibagikan pada Sabtu, 18 Mei 2024, video mendapat 10 komentar dan disukai 225 pengguna Instagram. Namun, benarkah Amerika Serikat mendanai penelitian virus berbahaya di laboratorium Tiongkok?

PEMERIKSAAN FAKTA

Advertising
Advertising

Klaim 1: Covid-19 adalah kebohongan berkedok ilmuwan

Fakta: Penelusuran Tempo terhadap transkrip rapat dengar pendapat dan pemberitaan kredibel lainnya menunjukkan bahwa pertemuan tersebut tidak menyimpulkan bahwa pandemi Covid-19 terjadi karena penelitian virus yang didanai oleh Amerika Serikat di laboratorium Wuhan, Tiongkok.

Latar belakang rapat dengar pendapat tersebut terkait dengan akuntabilitas, prosedur pendanaan dan laporan, serta standar keamanan atas pendanaan dari Institut Kesehatan Nasional (NIH) terhadap EcoHealth Alliance, sebuah lembaga riset kesehatan yang berbasis di Amerika Serikat setelah mereka menerima hibah sejak 2014 untuk menyelidiki virus corona yang berasal dari kelelawar.

EcoHealth menerima $3,7 juta dari NIH, di mana $600 ribu dollar di antaranya diberikan kepada Institut Virologi Wuhan. Pada tahun 2019, proyeknya diperpanjang untuk lima tahun berikutnya, tetapi kemudian ditarik oleh pemerintahan Trump pada bulan April 2020 setelah merebaknya pandemi virus corona.

Wakil Direktur NIH Lawrence Tabak mengakui bahwa NIH mendanai penelitian peningkatan fungsi di Institut Virologi Wuhan melalui EcoHealth. “Itu tergantung pada definisi Anda tentang penelitian gain-of-function. Jika Anda berbicara tentang istilah umum, ya, benar…istilah umum adalah penelitian yang dilakukan di banyak sekali laboratorium di seluruh negeri. Itu tidak diatur. Dan alasan mengapa hal ini tidak diatur adalah karena tidak menimbulkan ancaman atau kerugian bagi siapa pun.”

Transkrip lengkap rapat dengar pendapat tersebut dapat diakses di situs resmi ini.

Pendanaan terhadap EcoHealth tersebut bukan berita baru. Sidang Senat pada 2021 telah meminta penjelasan pada Dr. Anthony Fauci, direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular mengenai pendanaan terhadap EcoHealth dan kaitannya apakah AS mendanai penelitian peningkatan fungsi di Tiongkok. Memang terjadi perbedaan pendapat pada sidang tersebut.

NIH dengan tegas mendukung pernyataan Fauci bahwa penelitian yang didukung hibah tersebut bukan jenis penelitian peningkatan fungsi. Dalam pernyataan tanggal 19 Mei yang dikutip dari organisasi pemeriksa fakta FactCheck, Direktur NIH Dr. Francis S. Collins mengatakan bahwa “baik NIH maupun NIAID tidak pernah menyetujui hibah apa pun yang akan mendukung penelitian 'peningkatan fungsi' tentang virus corona yang akan meningkatkan penularan atau kematian virus tersebut pada manusia.”

Tidak ada bukti bahwa laboratorium di Wuhan, dengan atau tanpa pendanaan dari hibah NIH, menciptakan SARS-CoV-2. Banyak ilmuwan tetap terbuka terhadap kemungkinan lolosnya virus alami dari laboratorium, namun hanya sedikit yang menerima anggapan bahwa SARS-CoV-2 adalah hasil rekayasa. Meskipun hal ini tidak dapat dikesampingkan sepenuhnya, banyak pakar virus corona memandang hal ini sebagai hal yang tidak masuk akal. Dan satu-satunya cara SARS-CoV-2 bisa muncul dari laboratorium, baik melalui manipulasi atau virus yang muncul secara alami, adalah jika laboratorium di Wuhan memiliki virus yang jauh lebih mirip dengan SARS-CoV-2 dibandingkan virus corona yang pernah diidentifikasi.

Robert F. Garry, ahli virologi di Fakultas Kedokteran Universitas Tulane, mengatakan kepada FactCheck, bahwa virus corona harus “setidaknya 99%” mirip dengan SARS-CoV-2 dan “mungkin” 99,9% serupa jika disebut berasal dari laboratorium. “Tidak ada bukti,” katanya, bahwa Institut Virologi Wuhan “memiliki sesuatu yang mendekati bukti tersebut.”

Ahli virologi dari Tiongkok Shi Zhengli mengumumkan pada akhir Januari 2020 bahwa virus kelelawar yang diberi nama RaTG13 di laboratoriumnya memiliki 96,2% genom yang sama dengan SARS-CoV-2, yang merupakan persentase tertinggi dari semua virus yang diketahui. Namun para ahli mengatakan spekulasi bahwa RaTG13 bisa saja diubah menjadi SARS-CoV-2 adalah salah.

Itu karena genom RaTG13 masih berbeda dengan SARS-CoV-2 dalam lebih dari 1.000 nukleotida. “RaTG13 terlalu berbeda untuk menjadi virus nenek moyang ini,” kata David Robertson, kepala genomik virus dan bioinformatika di Universitas Glasgow, kepada FactCheck.

Para peneliti masih merujuk bahwa asal-usul virus SARS-Cov-2 penyebab pandemi Covid-19 berasal dari hewan. Pagani et.al (2023) dalam studinya “Origin and evolution of SARS-CoV-2, menjelaskan bahwa penelitian selama beberapa tahun yang mensurvei hewan liar, menunjukkan bahwa kelelawar berfungsi sebagai reservoir utama bagi banyak virus mirip SARS. Bukti pertama datang dari isolasi kerabat terdekat SARS-CoV dan SARS-CoV-2 yang diketahui dari kelelawar tapal kuda (Rhinolophus) yang menghuni gua-gua di Provinsi Yunnan di daratan Tiongkok.

Analisis rangkaian awal virus corona di kota Wuhan mengidentifikasi dua garis keturunan independen dari SARS-CoV-2 yang secara bersamaan didistribusikan di pasar satwa liar berbeda di kota Wuhan dan kemungkinan ditularkan melalui hewan tangkapan liar atau hewan ternak yang masih belum teridentifikasi dan dijual di pasar tersebut. Meski begitu, survei ekstensif terhadap keberadaan virus corona pada hewan liar dan mempelajari evolusi serta ekologi mereka, masih penting untuk dilakukan.

Klaim 2: Pandemic Treaty menggadang-gadang virus H5N1 atau flu burung sebagai pandemi berikutnya

Fakta: Meskipun sejumlah ilmuwan memperingatkan potensi pandemi berikutnya, salah satunya dapat berasal dari virus flu burung atau H5N1, akan tetapi flu burung bukanlah rekayasa atau hasil manipulasi yang disiapkan oleh Pandemic Treaty.

Artikel sejumlah ilmuwan berjudul “Influenza A Virus (H5N1)” yang terbit di Jurnal Science Direct (2012) menjelaskan, bahwa virus H5N1 selalu berulang, setelah pertama kali terdeteksi di China pada tahun 1996 dan menyebabkan kematian sejumlah angsa.

Setelah menjalani reassortment untuk mendapatkan gen baru, gen ini muncul di Hong Kong pada tahun 1997 dan menular ke manusia yang mengakibatkan 18 orang terinfeksi dengan enam orang meninggal. Virus ini kemudian menyebar luas ke Asia Timur, Eropa dan Afrika. . Virus ini memiliki tingkat kematian yang tinggi pada manusia, sekitar 50%, dan pada awal tahun 2007 lebih dari 150 orang telah meninggal akibat infeksi H5N1. Semua infeksi pada manusia tampaknya berasal dari kontak dekat dengan unggas yang terinfeksi.

Dikutip dari Pusat Pencegahan dan Penanganan Penyakit Menular Amerika Serikat (CDC), pada 2014-2016 muncul virus H5N6 dan H5N8 hasil pertukaran gen virus H5 dari unggas dan burung liar. Virus H5N6 dan H5N8 menjadi dominan secara global, menggantikan virus H5N1 yang asli. Pada tahun 2022, terdapat lebih dari 70 infeksi H5N6 pada manusia yang dilaporkan dan 7 infeksi H5N8 pada manusia.

Virus H5N1 baru yang termasuk dalam clade 2.3.4.4b dengan gen N1 NA yang beradaptasi dengan burung liar muncul. Virus Clade 2.3.4.4b H5N1 menjadi dominan di Asia, Afrika, Eropa, dan Timur Tengah pada akhir tahun 2021. Virus ini terdeteksi pada burung liar di Kanada dan Amerika Serikat pada akhir tahun 2021

Saat artikel ini ditulis, menurut Badan Kesehatan Dunia, satu kasus pada manusia telah dilaporkan di Amerika Serikat sejak merebaknya flu burung pada jutaan sapi perah di seluruh negeri. Setidaknya 220 orang sedang dipantau dan setidaknya 30 orang telah menjalani tes. Namun sejauh ini, belum ada tanda-tanda virus menyebar ke manusia. “Namun diperlukan pengawasan lebih lanjut,” kata Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) PBB pada konferensi pers rutinnya.

KESIMPULAN

Berdasarkan pemeriksaan fakta, video berisi klaim Covid-19 adalah kebohongan berkedok ilmuwan yang saat ini terbongkar di Amerika Serikat dan flu burung disiapkan sebagai pandemi berikutnya adalah keliru.

Transkrip rapat dengar pendapat Kongres Amerika Serikat terhadap Wakil Direktur Utama Institut Kesehatan Nasional (NIH) dan pemberitaan kredibel lainnya menunjukkan bahwa pertemuan tersebut tidak menyimpulkan bahwa pandemi Covid-19 terjadi karena penelitian virus yang didanai oleh Amerika Serikat di laboratorium Wuhan, Tiongkok.

Selain itu, ilmuwan memperingatkan potensi pandemi berikutnya, salah satunya dapat berasal dari virus flu burung atau H5N1. Namun flu burung bukanlah rekayasa atau hasil manipulasi yang disiapkan oleh Pandemic Treaty.

TIM CEK FAKTA TEMPO

** Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id