[Fakta atau Hoaks] Benarkah Mujahidin Maluku dan Suku Baduy ke Jakarta untuk berunjuk rasa ke KPU?
Selasa, 21 Mei 2019 16:12 WIB
Beberapa akun di media sosial menyebutkan sejumlah suku di Indonesia telah bergerak ke Jakarta untuk people power. Mereka dinarasikan akan mengikuti people power untuk memprotes dugaan kecurangan Pemilu dan Pilpres 2019 ke kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Mei 2019.
Akun Vitri Nosa, misalnya, pada 19 Mei 2019 membagikan foto iring-iringan sejumlah foto para pria berpakaian putih sambil memegang belati. Dia menulis “Alhamdulilah mujahidin Maluku go Jakarta.”
Hingga 21 Mei 2019, unggahan akun Vitri itu telah dibagikan 5,4 ribu kali di Facebook.
Berbeda dengan akun Dewi Subadra yang membagikan foto-foto suku Baduy pada 20 Mei 2019. Ia menulis narasi bahwa suku Baduy yang selama ini tinggal di pedalaman hutan rela berjalan kaki ke Jakarta tanpa alas kaki demi membela para ulama.
“Jangan pandang rendah mereka. Biarpun mereka datang dari pedalaman hutan tapi mereka lebih punya hati nurani daripada kalian-kalian yang tinggal di kota dengan kemodernan tapi kalian takut dan malah membela kecurangan,” tulis akun Dewi yang dibagikan 21,2 ribu kali.
Benarkah suku-suku itu memang berangkat ke Jakarta untuk poeple power dan berunjuk rasa ke KPU?
PEMERIKSAAN FAKTA
Pendukung pasangan calon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno berencana membuat gerakan people power pada 22 Mei 2019 yang semula bertepatan dengan pengumuman hasil pemilu 2019.
Gerakan people power diserukan oleh sejumlah tokoh dari Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga. Gerakan itu disuarakan untuk merespons dugaan kecurangan pemilu. Karena itu, aksi yang disebut juga aksi kedaulatan rakyat itu bakal dilaksanakan di gedung KPU, Jakarta pada 22 Mei besok.
Berikut ini fakta-fakta tentang narasi mujahidin Maluku dan suku Baduy akan mengikuti aksi people power:
1. Klaim atas mujahidin Maluku
Dari hasil pemeriksaan atas empat foto yang diunggah, bahwa para pria itu bukan kelompok mujahidin Maluku yang akan ikut gerakan people power. Mereka adalah masyarakat Hatuhaha, Desa Pelauw, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah yang sedang menggelar tradisi Ma’atenu atau Cakalele.
Tradisi Ma’atenu adalah tradisi berupa uji coba kekebalan tubuh terhadap segala jenis senjata tajam. Tradisi ini sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda, dimana ritual Ma'atenu ini menggambarkan heroiknya perjuangan masyarakat Pelauw melawan penjajah.
Menurut La Sakka dalam Tarian Ma’atenu di Pulau Haruku Kabupaten Maluku Tengah (2015), ritual ini dilaksanakan tiga tahun sekali, dan sudah berlangsung selama 100 tahun lebih. Ma’atenu berasal dari bahasa Pelauw atau Hatuhaha Ma’atenu’o; terdiri dari dua suku kata yaitu kata ma’a artinya mari, dan kata tenu’o artinya mencoba atau menguji. Ma’atenu secara harfiah dapat diartikan sebagai undangan untuk menguji.
“Pengertian ini menunjuk pada tingkatan aktif dan keberadaan peserta Ma’atenu yang menguji kekebalan dan keperkasaan mereka di depan publik dengan cara memotong, mengiris dan menikam anggota tubuh mereka dengan parang atau kelewang dan benda-benda tajam lainnya,” tulis La Sakka dalam Jurnal “Al-Qalam” Volume 21 Nomor 2 Desember 2015.
2. Klaim atas suku Baduy
Foto-foto suku Baduy yang diunggah akun Dewi Subadra diambil dari video yang dipublikasikan kanal Baduy Corner pada 6 Desember 2016. Foto-foto itu bukan aksi suku Baduy mengikuti gerakan people power, melainkan bagian dari Upacara Adat Seba Baduy ke Pendopo Gubernur Banten di Kota Serang. Upacara adat ini yang dilaksanakan setahun sekali itu setelah masa panen diikuti ribuan warga suku Baduy dari Baduy Luar maupun Baduy Dalam.
Dalam upacara ini, masyarakat Baduy berjalan kaki menempuh jarak sekitar 115 kilometer. Beragam hasil bumi dibawa dalam perjalanan panjang itu. Semuanya, akan disampaikan kepada kepala pemerintah daerah yang kerap disebut Bapak Gede. Ini bukanlah upeti, melainkan bentuk ketulusan dan keikhlasan semata yang diungkapkan setiap tahun.
Perayaan “Seba Baduy” sampai sekarang masih dipertahankan secara turun-temurun oleh masyarakat Baduy Dalam yang berpakaian khas putih-putih dan masyarakat Baduy Luar yang berpakaian hitam-hitam. Perjalanan saat upacara ditempuh lebih kurang 12 jam. Tidak kenal panas dan hujan. Segala cuaca akan tetap diterabas. Warga Baduy yang ikut dalam Seba, semuanya laki-laki. Kaum hawa dilarang ikut. Ini seperti ditulis oleh portal berita Pikiran Rakyat dalam artikel berjudul Seba Baduy, Tradisi Jalan Kaki Sejauh 115 Km (Tautan: https://bit.ly/2Qh4FNN).
KESIMPULAN
Dari pemeriksaan fakta di atas menunjukkan bahwa narasi yang dibagikan di media sosial adalah menyesatkan. Sebab menggunakan foto-foto yang benar, namun cara penyampaian atau kesimpulannya keliru serta mengarahkan ke tafsir yang salah.
IKA NINGTYAS