Keliru, Narasi yang Mengatakan Bahaya Polusi Udara Hanya Tipuan untuk Bisnis
Jumat, 3 Mei 2024 08:36 WIB
Sebuah narasi beredar di Facebook [arsip] yang mengatakan polusi udara dan pemanasan global sesungguhnya tidak ada, dan hanya merupakan hoaks yang disebarkan kalangan tertentu untuk tujuan bisnis.
Narasi itu mengatakan bahwa udara kotor akan dibersihkan secara alami pada malam hari. Udara pagi hari dikatakan sejuk karena telah dibersihkan pada malam hari. Sementara kotoran sisa proses tersebut dikatakan tersimpan dalam embun.
Dikatakan juga bahwa karbondioksida alias CO2 merupakan zat berat yang tidak akan bisa diangkat udara ke atas, apalagi sampai ke lapisan ozon dan menyebabkan pemanasan global.
Namun, benarkah bahaya polusi udara dan pemanasan global hanya tipuan untuk tujuan bisnis?
PEMERIKSAAN FAKTA
Dilansir website resmi Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA), aerosol adalah partikel di udara, yang bisa berbentuk percikan cairan, bersifat padat seperti debu, atau berupa gas seperti asap. Kaitan antara aerosol dan iklim sangat kompleks.
Sebagian aerosol berhasil terlontar setinggi lebih dari 10 ribu meter ke atmosfer bumi oleh ledakan gunung merapi. Dalam kondisi seperti itu, dalam beberapa bulan atau tahun, aerosol akan beredar di atmosfer dan menutupi atau mengurangi sinar matahari yang datang ke bumi.
Contoh terbaru peristiwa seperti itu, ialah letusan Gunung Pinatubo, Filipina, tahun 1991. Dampaknya suhu atmosfer bumi turun antara 0,4 sampai 0,5 derajat celcius pada dua tahun berikutnya.
Aerosol yang berasal dari pembakaran bahan bakar dari fosil, yang termasuk polusi udara juga berdampak sedikit mendinginkan bumi. Namun bahayanya pada kesehatan manusia telah terbuktikan. Selain itu, meskipun hanya bertahan beberapa hari, jenis aerosol ini terus diproduksi sehingga terus terkandung di udara.
Di sisi lain, aerosol jenis jelaga alias partikel arang bekas pembakaran, dan karbondioksida, dapat meningkatkan pemanasan global. Aerosol jelaga yang berwarna pekat menyerap sinar matahari sehingga mempertahankan hawa hangatnya lebih lama. Sementara karbondioksida menyebabkan terjadinya efek rumah kaca.
Hal itu juga bermakna bahwa aktivitas manusia menambah lebih banyak pelepasan aerosol, sebagaimana yang ditulis Nationalgeographic.com. Kandungan partikel yang ukurannya kurang dari 2,5 mikron, di udara, meningkat 60 persen sejak revolusi industri (1760-1850).
Padahal partikel yang bercampur udara dan menjadi polusi itu merugikan kesehatan manusia, karena meningkatkan risiko penyakit jantung, stroke, pari-paru, asma, dan lainnya. Dampak risiko penyakit ini merupakan bahaya langsung dari aerosol yang mengancam manusia.
Majalah Tempo edisi 27 Agustus 2023 menjelaskan bahwa penyakit pernapasan menyebabkan kematian terbanyak di dunia, diikuti tuberkulosis (TBC). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencatat tahun itu jumlah kasus infeksi pernapasan meningkat.
Demikian juga Narasi TV yang memberitakan warga Marunda, Jakarta Utara, yang mengalami batuk, sesak napas, sakit mata, hingga gatal-gatal dari bongkar-muat batu bara di dekat pemukiman mereka. Polusi di Jakarta didominasi asap kendaraan dan industri yang menggunakan bahan bakar batu bara.
Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, mengatakan bahwa polusi udara berkontribusi terhadap enam besar penyakit secara nasional, yakni pneumonia (infeksi paru), infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), asma, tuberkulosis, kanker paru, dan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), sebagaimana isi publikasi Sekretariat Kabinet (Setkab) RI.
Selain itu, dalil agama yang disertakan dalam narasi tersebut tidak secara eksplisit membahas polusi udara dan pemanasan global. Narasi yang beredar juga tidak menyertakan tafsir dari ayat Alquran yang dicantumkan.
Padahal, M. Quraish Shihab dalam “Kaidah Tafsir” menjelaskan bahwa ilmu tafsir diperlukan untuk menjelaskan ayat Alquran dengan sebaik-baiknya, sebagaimana dijelaskan artikel Republika.co.id. Menurutnya, tafsir Alquran adalah penjelasan tentang maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia.
Demikian juga yang disampaikan Guru Besar University of Melbourne, Australia, Prof Abdullah Saeed PhD, saat mengisi kuliah umum di Universitas Muhammadiah Malang (UMM), 2012. Menurutnya, tafsir ayat Alquran sangat penting untuk mengetahui konteks ayat tersebut.
Bukti Ilmiah Pemanasan Global
NASA menyatakan bahwa terjadinya pemanasan global kini tak hanya menjadi teori para ilmuwan, melainkan telah terbuktikan dan merupakan fakta. Demikian juga karbondioksida, yang terus meningkat sejak tahun 1911 di level 300 parts per million, hingga kini di level 400.
Terjadinya perubahan iklim telah diakui para ilmuwan dari berbagai negara dalam Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC). Bukti-buktinya di antaranya suhu rata-rata global meningkat, suhu lautan juga semakin menghangat, dan frekuensi kejadian ekstrim bertambah.
Selain itu, lapisan es di kutub menyusut, tutupan salju di gunung alias gletser menyusut. Es-es itu telah mencair dan meningkatkan tinggi air laut. Kemudian, keasaman laut juga meningkat.
Dosen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UNAIR Dr. Eko Prasetyo Kuncoro, S.T., DEA menjelaskan bahwa pada tahun 2021, Badan Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization) mengeluarkan laporan yang menyatakan kemungkinan 40 persen suhu bumi akan naik 1,5 derajat celcius pada tahun 2025
Dia mengatakan, hal itu akan berkontribusi pada pemanasan global, seperti percepatan pencairan es kutub, naiknya permukaan air laut, dan perubahan iklim. Perubahan iklim akan berdampak pada semakin sulitnya memprediksi kondisi alam.
KESIMPULAN
Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa narasi yang beredar yang mengatakan polusi tidak berbahaya dan tidak ada pemanasan global adalah klaim yang keliru.
Sejumlah laporan terkait kesehatan menyimpulkan bahwa polusi udara menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia. Selain itu, karbondioksida menyebabkan efek rumah kaca yang mempercepat pemanasan global.
TIM CEK FAKTA TEMPO
**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id