Sebagian Benar, Pernyataan Kepala BKKBN tentang Hamil di Usia 35 Tahun Menyebabkan Anak Stunting
Jumat, 5 April 2024 09:58 WIB
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, mengingatkan perempuan hamil maksimal di usia 35 tahun untuk mencegah anak lahir stunting.
“Usia 35 tahun maksimal untuk hamil karena pada dasarnya manusia dari lemah dikuatkan, dari kuat dilemahkan, dan puncaknya ada di umur 32 tahun, itu sudah mulai menua. Sejak usia 32 tahun sudah mulai keropos tulang-tulangnya,” ujarnya dikutip dari Kantor Berita Antara, Rabu, 27 Maret 2024.
Hasto menyebutkan bahwa usia menikah ideal menurut BKKBN yakni laki-laki 25 tahun dan perempuan 21 tahun. Dari situ ia menegaskan pentingnya peran Pembantu Pembina Keluarga Berencana Desa (PPKBD) untuk mengedukasi masyarakat tentang percepatan penurunan stunting guna mencapai target penurunan stunting 14 persen.
Benarkah pernyataan Hasto mengenai perempuan hamil maksimal di usia 35 tahun agar mencegah anak lahir stunting itu?
PEMERIKSAAN KLAIM
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat dari Universitas Airlangga, Mahmud Aditya Rifqi, menilai pernyataan Kepala BKKBN benar, tetapi tidak akurat. Ia menjelaskan bahwa hamil di atas usia 35 tahun (Advanced maternal age/older maternal age) memang dapat meningkatkan risiko komplikasi kehamilan. Menurut penelitian, risiko komplikasi ini seperti diabetes gestational, hipertensi, dan kelahiran prematur.
Risiko ini cenderung meningkat seiring dengan pertambahan paritas (jumlah anak yang hidup) dan Indeks Massa Tubuh (IMT) yang tinggi (overweight dan obesitas). Inilah mengapa kelahiran prematur kerap dikaitkan dengan peningkatan risiko stunting pada bayi.
Namun, hingga saat ini, belum ada cukup bukti yang menunjukkan bahwa kehamilan pada usia di atas 35 tahun secara signifikan berpengaruh terhadap risiko stunting/malnutrisi pada bayi yang baru lahir atau anak.
Dikutip dari The Lancet Global Health, Kolaborasi COHORTS mengidentifikasi ibu yang berusia ≥35 tahun memang memiliki peningkatan risiko kelahiran prematur, tetapi anak-anak mereka mengalami lebih sedikit stunting dan kemajuan sekolah serta pencapaian tinggi badan yang lebih baik saat dewasa. Dua hal terakhir ini merupakan temuan baru di negara-negara low middle income countries. Data ini diambil dari 19.403 peserta yang berada dalam lima kelompok kelahiran di Brasil, Guatemala, India, Filipina, dan Afrika Selatan.
Sedangkan di Indonesia, sebuah studi kasus berjudul “Pendorong Penurunan Stunting di Yogyakarta” menemukan bahwa terdapat beberapa faktor sosial yang menjelaskan rendahnya prevalensi stunting di Kabupaten Sleman. Faktor-faktornya terkait dengan semakin tingginya indikator kesejahteraan, antara lain Indeks Pembangunan Manusia (IPM), lama pendidikan, pertumbuhan ekonomi, cakupan pelayanan kesehatan ibu dan ibu hamil, cakupan pelayanan kesehatan neonatal, cakupan pemberian ASI eksklusif, rendahnya kasus Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), dan inovasi penurunan stunting.
Di Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, prevalensi stunting disebabkan oleh tingginya frekuensi pernikahan dini, rendahnya tingkat pendidikan, permasalahan ekonomi, keragaman pangan, praktik pemberian makan yang tidak tepat, dan pendapatan yang relatif lebih rendah dibandingkan daerah lain di Provinsi Yogyakarta.
Pada dasarnya, tidak ada batasan absolut untuk usia maksimum hamil yang terkait dengan risiko stunting. “Sebaliknya, dalam kondisi kesehatan yang baik, pertambahan usia dapat menjadi keuntungan karena ibu jadi memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih luas,” ujar Mahmud.
Ada berbagai faktor yang bisa mempengaruhi status gizi anak, tidak hanya perihal usia kehamilan ibu. Faktor lainnya termasuk status gizi ibu, asupan makanan, akses terhadap layanan kesehatan, dan kondisi sanitasi lingkungan. “Selama ibu dapat mengelola risiko dari faktor-faktor tersebut dengan baik, risiko stunting pada anak dapat diminimalkan,” tambahnya.
Meski demikian, perhatian khusus tetap diperlukan bagi ibu hamil di atas usia 35 tahun untuk menjaga kesehatan, terutama selama masa kehamilan. Studi memang menunjukkan bahwa peningkatan usia berkorelasi dengan pengeroposan tulang. Namun, beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara komposisi tubuh dan tekanan darah dengan usia ibu.
“Semua ini tergantung pada karakteristik individu masing-masing dan kemampuannya dalam menjaga kesehatan tubuh,” kata pria yang juga mahasiswa PhD di Graduate School of Health Sciences, Hokkaido University, Jepang itu.
KESIMPULAN
Pernyataan Kepala BKKBN tentang perempuan hamil maksimal di usia 35 tahun untuk mencegah anak lahir stunting adalah sebagian benar.
Namun, hingga saat ini, belum ada cukup bukti yang menunjukkan bahwa kehamilan pada usia di atas 35 tahun secara signifikan berpengaruh terhadap risiko stunting/malnutrisi pada bayi yang baru lahir atau anak.
Terdapat studi yang mengidentifikasi ibu yang berusia ≥35 tahun memang memiliki peningkatan risiko kelahiran prematur, tetapi anak-anak mereka mengalami lebih sedikit stunting dan kemajuan sekolah serta pencapaian tinggi badan yang lebih baik saat dewasa.
**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id
Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI)