Benar, Pernyataan Prabowo Tentang Demokrasi Indonesia yang Sangat Melelahkan, Berantakan, dan Mahal
Selasa, 19 Maret 2024 11:51 WIB
Calon Presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto, menyatakan bahwa demokrasi Indonesia sangat melelahkan, berantakan, dan mahal.
"Dan izinkan saya memberi kesaksian bahwa demokrasi sangat-sangat melelahkan, demokrasi sangat berantakan, demokrasi sangat costly (menghabiskan biaya). Dan kita sampai sekarang masih tidak puas dengan demokrasi kita," ujarnya ketika menghadiri Mandiri Investment Forum 2024 di Fairmont Hotel, Jakarta, Selasa, 5 Maret 2024.
Meski begitu, Prabowo mengatakan setidaknya sudah ada 80% penduduk Indonesia yang memberikan hak suara seperti dikutip dari CNBC Indonesia. Menurutnya, jumlah itu tidak terlalu buruk mengingat banyak negara demokrasi lain yang pemilihnya kurang dari 50%.
Benarkah pernyataan Prabowo itu?
PEMERIKSAAN KLAIM
Peneliti Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, Wawan Kurniawan, menilai bahwa pernyataan Prabowo itu dapat dianggap sebagai refleksi dari kondisi saat ini. “Tetapi bukan sebagai penilaian akhir terhadap potensi demokrasi di Indonesia,” ujarnya.
Konsep "kelelahan demokrasi" dapat dikaitkan dengan teori kelelahan keputusan (decision fatigue) dan penipisan ego (ego depletion). Teori ini menjelaskan bagaimana proses pengambilan keputusan yang berkepanjangan dapat menurunkan kualitas keputusan dan kepuasan terhadap sistem.
Dalam demokrasi, proses deliberatif yang berkelanjutan dan pengambilan keputusan yang kompleks, kerap menimbulkan kelelahan bagi pemilih dan pemangku kepentingan.
Sementara itu, kritik terhadap demokrasi seringkali berfokus pada kekacauan dan ketidakstabilan yang ditimbulkan. Dari perspektif teori demokrasi deliberatif, ketegangan dan konflik merupakan bagian integral dari proses demokrasi yang sehat. Namun, ketika institusi demokrasi lemah dan partisipasi publik rendah, proses deliberatif dapat terdegradasi menjadi polarisasi dan konflik yang tidak produktif.
Penelitian tentang demokrasi di Indonesia menunjukkan bahwa tantangan seperti korupsi, polarisasi politik, dan ketidaksetaraan sosial-ekonomi masih membayangi kualitas demokrasi. Tantangan-tantangan ini muncul meskipun terdapat kemajuan signifikan dalam hal partisipasi politik dan kebebasan sipil sejak Reformasi 1998. Artinya, pernyataan Prabowo tentang demokrasi di Indonesia "sangat melelahkan dan berantakan" dapat dipahami sebagai refleksi dari tantangan-tantangan tersebut.
Sementara menurut dosen Departemen Ilmu Politik dan Pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, pernyataan Prabowo tentang demokrasi yang sangat melelahkan, berantakan, dan mahal adalah benar.
Namun, konsep demokrasi perlu ditelaah lebih mendalam, seperti data pembiayaan oleh negara, partai politik, maupun kandidat dalam Pemilu.
Alfath mengingatkan bahwa demokrasi menempatkan pentingnya musyawarah untuk mencapai konsensus. Proses ini, kata dia, terkadang memakan waktu yang tak sedikit, sehingga membuat pihak-pihak tertentu merasa kelelahan.
Selain itu, adanya tuntutan partisipasi aktif dari setiap warga negara. Namun dalam banyak hal, musyawarah yang dilakukan seringkali memicu ketegangan di tengah masyarakat dan berujung deadlock. Akhirnya, keputusan yang diambil tidak benar-benar bisa memuaskan semua pihak dan cenderung kompromistis.
Mahalnya demokrasi dikaitkan dengan seberapa besar pembiayaan pemilu, baik yang didanai negara, partai politik maupun kandidat. Pembiayaan pemilu di Indonesia pun meningkat dari masa ke masa. Alokasi anggaran negara untuk penyelenggaraan Pemilu 2024 mencapai Rp71,3 triliun. Angka ini jauh melampaui pemilu-pemilu sebelumnya.
Biaya yang harus dikeluarkan calon legislatif juga diprediksi meningkat, yang nilainya sangat fantastis hingga mencapai puluhan miliaran rupiah di tingkat nasional. “Biaya-biaya ini digunakan untuk mendekati dan merawat konstituen,” ujar Alfath.
Di satu sisi, kata Alfath, demokrasi memang perlu diperjuangkan karena rasional, menghargai proses, dan menempatkan partisipasi aktif warga negara. Namun di sisi lain, demokrasi memang sangat melelahkan, sehingga setiap warga negara butuh daya tahan (endurance).
Hanya saja, yang membuat demokrasi benar-benar berantakan dan mahal karena cenderung didominasi oleh perilaku elit dan politisi yang tidak beretika. Kebiasaan untuk menggunakan uang dan instrumen lainnya seperti politisasi bansos, membuat masyarakat menjadi sangat materialistis.
“Ini menjadikan pemilu kita sebatas jual-beli suara, dan demokrasi tak ubahnya seperti jargon kosong. Ada kekuasaan yang gamang terhadap nilai-nilai dasar republik, menjadikannya sebatas pengabdi pasar, sementara kedaulatan rakyat dipinggirkan,” imbuh Alfath.
Wawan menjelaskan, solusi untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia ialah memperkuat institusi demokrasi, meningkatkan literasi politik dan sosial, serta promosi dialog dan toleransi antarkelompok.
Menurut teori kapasitas demokrasi, terdapat penekanan pentingnya kapasitas institusional dan partisipasi warga negara dalam memelihara dan memperkuat demokrasi.
Jadi, meskipun demokrasi di Indonesia memiliki tantangan yang membuatnya terasa "melelahkan dan berantakan," pendekatan yang berbasis pada temuan dan teori ilmiah menunjukkan bahwa dengan upaya yang tepat, kualitas demokrasi dapat ditingkatkan.
KESIMPULAN
Hasil pemeriksaan Tim Cek Fakta Tempo, pernyataan Prabowo tentang demokrasi Indonesia sangat melelahkan, berantakan, dan mahal adalah benar.
Namun peneliti Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, Wawan Kurniawan, menilai bahwa pernyataan Prabowo itu dapat dianggap sebagai refleksi dari kondisi saat ini. Bukan sebagai penilaian akhir terhadap potensi demokrasi di Indonesia.
Kualitas demokrasi dapat ditingkatkan dengan pendekatan upaya yang tepat, berbasis pada temuan dan teori ilmiah.
**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id
Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI)