Keliru, Kedatangan Pengungsi Rohingya ke Indonesia Merupakan Propaganda Penjajahan Gaya Baru

Rabu, 27 Desember 2023 17:27 WIB

Keliru, Kedatangan Pengungsi Rohingya ke Indonesia Merupakan Propaganda Penjajahan Gaya Baru

Sebuah narasi beredar di TikTok [arsip] dan Facebook [arsip] yang mengklaim bahwa pengungsi Rohingya yang datang ke Indonesia merupakan bentuk propaganda penjajahan gaya baru, alias upaya merebut Indonesia.

Narasi di Facebook disertai klaim tiga kejanggalan kedatangan orang-orang Rohingya ke Indonesia. Pertama, etnis Rohingya yang muslim dinilai pasti melawan atau berjihad bila ditindas di Myanmar. Namun, yang terjadi mereka justru kabur.

Klaim kejanggalan kedua, Pemerintah Bangladesh telah membangun tempat yang mewah untuk kelompok Rohingya, namun justru ditinggalkan dan bermigrasi. Klaim kejanggalan ketiga, dikatakan ada permainan politik internasional yang tidak diketahui masyarakat Indonesia di balik kedatangan etnis Rohingya.

Namun, benarkah kedatangan orang-orang Rohingya adalah bagian dari propaganda upaya penjajahan Indonesia?

Advertising
Advertising

PEMERIKSAAN FAKTA

Hasil verifikasi Tempo menunjukkan bahwa ketiga klaim itu tidak sesuai fakta yang terjadi. Pengungsi Rohingya datang ke Indonesia bukan untuk menjajah melainkan untuk mencari keselamatan dan stabilitas pasca kekerasan yang menimpa mereka di Myanmar, dan kondisi kamp pengungsian di Bangladesh yang tidak layak.

Klaim 1: Sebagai Muslim, etnis Rohingya tidak melakukan perlawanan dan justru kabur dari Myanmar

Fakta: Penelitian Mohajan berjudul "History of Rakhine State and the Origin of the Rohingya", menjelaskan PBB telah mengidentifikasi etnis Rohingya sebagai salah satu kelompok yang paling teraniaya di dunia minoritas, dan salah satu kelompok terbesar masyarakat tanpa kewarganegaraan. Rohingnya adalah etnis Muslim minoritas di Rakhine, negara di pantai barat Myanmar, salah satu negara termiskin di wilayah itu.

Keliru jika menyebut etnis Rohingya tidak melakukan perlawanan. Sejarah perlawanan etnis Rohingya telah lama dilakukan. Engy Abdelkader dalam "Sejarah persekusi Rohingya di Myanmar", pada 1950, beberapa orang Rohingya memberontak terhadap kebijakan pemerintah Myanmar. Mereka meminta kewarganegaraan. Mereka juga meminta wilayah yang telah dijanjikan kepada mereka. Tentara menghancurkan gerakan pemberontakan tersebut.

Namun selama masa pemerintahan yang dipegang militer sejak 1962, melemahkan gerakan Rohingya secara sistematis. Penguasa militer mencap Rohingya sebagai orang asing, tentara membunuh, menyiksa, dan memperkosa warga minoritas ini. Mereka melarang organisasi-organisasi sosial dan politik Rohingya. Mereka juga mentransfer usaha swasta milik kelompok Rohingya kepada pemerintah, melemahkan kelompok tersebut secara finansial. Lebih jauh, kelompok Rohingya mengalami kerja paksa, penahanan tanpa peradilan, dan serangan fisik. Pada 1991 dan 1992, lebih dari 250.000 mencoba melarikan diri ke Bangladesh.

Persekusi panjang yang dialami etnis Rohingya kemudian memunculkan kelompok milisi di Myanmar yang beranggotakan sebagian minoritas Muslim Rohingya bernama Tentara Pembebasan Rohingya Arakan atau The Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Menurut BBC, ARSA berpusat di Rakhine, negara bagian di wilayah utara Myanmar yang menjadi pusat Muslim Rohingya mengalami persekusi.

ARSA selama ini hanya melancarkan serangan sporadis, namun pada 25 Agustus 2017, mereka menyerang 30 polisi dan markas tentara. Serangan itu memicu balasan yang masif dari militer Myanmar. Namun tidak seluruh warga Rohingya mendukung ARSA. Selain itu, ARSA tidak menyusun strategi secara matang.

Otoritas militer Myanmar menganggap ARSA sebagai kelompok teroris Islam untuk menjustifikasi seluruh respons mereka pasca-serangan Agustus 2017. Menurut Penduduk etnis Rohingya mengungsi besar-besaran pada 2017, saat aparat bersenjata Myanmar melakukan penyerangan bersenjata, dan membakar rumah-rumah mereka. Mereka juga memenggal para pria, memperkosa para perempuan dan membunuh anak-anak. Puluhan ribu masyarakat Rohingya kehilangan tempat tinggal. Sebelum krisis ini, 120.000 Rohingya yang kehilangan tempat tinggal tinggal dalam kamp-kamp pengasingan.

Sesungguhnya sebuah kelompok perlawanan etnis Rohingya pernah terbentuk, yakni ARSA, yang sebelumnya dikenal sebagai Al-Yaqeen Faith Movement, sebagaimana juga diberitakan Aljazeera.

Namun kemunculan kelompok perlawanan itu pada tahun 2017, justru dijadikan alasan tambahan oleh pemerintah Myanmar untuk menyerang mereka dan menuduhnya sebagai teroris. Selanjutnya, etnis Rohingya terdorong mengungsi ke Bangladesh.

Klaim 2: Pemerintah Bangladesh telah membangun tempat yang mewah untuk kelompok Rohingya, namun justru ditinggalkan dan berimigrasi

Fakta: Klaim ini tidak benar. Tempo telah membantah klaim yang beredar ini sebelumnya. Dari laporan BBC, Pemerintah Bangladesh memang membangun kamp pengungsian di Bhasan Char, terletak 60 km dari daratan utama Bangladesh, yang muncul ke permukaan laut kurang dari 20 tahun lalu. Ketinggian tanahnya kurang dari dua meter di atas permukaan laut. Materi tanahnya adalah tanah lempung, berasal dari sedimen Himalaya yang dibawa sungai ke laut.

Pemerintah Bangladesh bertujuan merelokasi lebih dari 100.000 pengungsi ke pulau itu guna meredakan ketegangan di kamp-kamp pengungsian di Cox Bazar.

Akan tetapi, bagi banyak orang Rohingya, pulau itu adalah "penjara" dan dari 306 pengungsi yang kini bermukim di pulau tersebut, semuanya direlokasi tanpa persetujuan mereka. Tidak ada pengungsi yang diperbolehkan pergi. PBB mengatakan sebagian besar 306 orang itu adalah perempuan dan anak-anak.

Orang-orang Rohingya yang datang ke Provinsi Aceh sejak November, sesungguhnya mereka yang berasal dari kamp pengungsian Cox Bazar, bukan Pulau Bhasan Char. kondisi Kamp pengungsian Cox Bazar semakin tidak aman dengan lebih seringnya terjadi kriminalitas. Situasi itu membuat mereka merasa masa depan semakin suram.

Menurut UNFPA per Juni 2023, hampir 1 juta pengungsi Rohingya tinggal di Cox Bazar, yang disebut sebagai kamp pengungsi terbesar di dunia. Namun kondisi di Cox Bazar sangat sulit. Banyak pengungsi Rohingya tinggal di tempat penampungan sementara yang penuh sesak dan tidak memberikan privasi yang memadai serta menimbulkan risiko perlindungan bagi perempuan dan anak perempuan.

Layanan dasar juga terbatas di dalam jaringan kamp. Banyak pengungsi Rohingya yang sepenuhnya bergantung pada bantuan kemanusiaan. Bangladesh juga rentan terhadap bencana alam dan para pengungsi di Cox Bazar telah terpapar banjir, angin topan, dan tanah longsor, yang kemungkinan besar akan meningkat frekuensi dan intensitasnya dari waktu ke waktu.

Klaim 3: Ada permainan politik internasional yang tidak diketahui masyarakat Indonesia di balik kedatangan etnis Rohingya.

Fakta: Kedatangan pengungsi etnis Rohingya tidak hanya ke Indonesia, melainkan ke sejumlah negara seperti Bangladesh dan Malaysia. Di Indonesia, pengungsi Rohingya mulai terjadi pada 2023. Kepala Pusat Riset Politik BRIN, Athiqah Nur Alami dikutip dari laman Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan secara global, data United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) sudah ada 1,2 juta orang pengungsi dari Myanmar di mana 80% adalah etnis Rohingya.

Khusus di Indonesia, sudah terdapat 1200 pengungsi sejak November 2023. Berdasarkan pemberitaan terakhir, jumlah mereka bertambah sekitar 300 orang sebagai bagian dari gelombang ke-9 kedatangan pengungsi Rohingya.

Etnis Rohingnya mengungsi ke luar Myanmar karena persekusi panjang yang mereka alami. Penelitian Mohajan berjudul “History of Rakhine State and the Origin of the Rohingya”, umat Islam di Myanmar mengalami penganiayaan sejak masa pemerintahan Raja Bodawpayar (1782-1819) karena ketakutan akan penyebaran Islam. Hal itu berlanjut hingga pemerintahan militer yang dipimpin oleh Jenderal Angkatan Darat Burma Ne Win antara tahun 1966 dan 1988. Sejak tahun 1970-an, sejumlah tindakan keras terhadap Rohingya di Rakhine menyebabkan lebih dari satu juta orang mengungsi ke negara tetangga Bangladesh, Malaysia, Thailand, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya.

Laman UNHCR menjelaskan dalam tiga dekade terakhir sekitar 1 juta orang etnis Rohingya melarikan diri ke kamp-kamp di negara tetangga Bangladesh dan kebanyakan pada tahun 2017 setelah beberapa insiden kekerasan dan pelanggaran HAM berskala besar. Kondisi keamanan di kamp-kamp Bangladesh yang sesak telah memburuk secara signifikan selama beberapa waktu terakhir, mendorong banyak keluarga pengungsi Rohingya untuk melakukan perjalanan yang sangat berbahaya dalam mencari keselamatan dan stabilitas.

Pengungsi Rohingya tidak hanya mencari keselamatan di Indonesia. Mayoritas pengungsi Rohingya telah melarikan diri dan diberi status pengungsi di Bangladesh (>960.000), Malaysia (>107.000), dan India (>22.000).

KESIMPULAN

Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa narasi yang beredar di media sosial yang mengatakan kedatangan etnis Rohingya ke Indonesia merupakan bagian dari propaganda politik untuk menjajah Indonesia, adalah keliru.

Sejarah etnis Rohingya dalam menghadapi berbagai penindasan telah tercatat, yang mendorong mereka mencari tempat aman untuk hidup ke berbagai negara, termasuk Indonesia.

TIM CEK FAKTA TEMPO

**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id