Keliru, Klaim bahwa Etnis Rohingya Tinggalkan Kamp Pengungsian Mewah di Bangladesh karena Malas Bekerja
Senin, 18 Desember 2023 15:22 WIB
Sejumlah foto beredar di TikTok dan Facebook [arsip] yang diklaim sebagai kamp pengungsian mewah yang dibangun pemerintah Bangladesh untuk pengungsi etnis Rohingya. Namun bangunan-bangunan tersebut ditinggalkan pengungsi etnis Rohingya karena lebih memilih pergi ke Indonesia karena mereka malas bekerja.
Narasi yang disertakan juga mengatakan bahwa alasan warga Rohingya melintasi laut untuk datang ke Aceh, Indonesia, karena mereka akan menerima makanan tiga kali sehari secara gratis. Sementara di Bangladesh mereka harus bekerja.
Namun, benarkah pengungsi Rohingya meninggalkan rumah yang mereka dapat di Bangladesh dan memilih pergi ke Indonesia agar mendapat makanan gratis?
PEMERIKSAAN FAKTA
Hasil verifikasi Tempo menunjukkan bahwa foto-foto bangunan berwarna merah tersebut memang benar kamp pengungsian di Pulau Bhasan Char yang dibangun di Bangladesh untuk etnis Rohingya. Namun kelompok etnis Rohingya yang datang ke Aceh dalam dua pekan terakhir, tidak berasal dari kamp pengungsian Pulau Bhasan Char, melainkan mereka yang masih berada di kamp Cox Bazar.
Dengan menggunakan reverse image search Google dan Yandex, Tempo dapat mengkonfirmasi bahwa bangunan tersebut adalah kamp pengungsian di Pulau Bhasan Char. Foto yang sama pernah tayang dalam berita Tempo, pada 6 Desember 2020.
Jumlah rumahnya 1.440 unit, dengan dapur dan kamar mandi yang digunakan bersama untuk penghuni beberapa rumah yang berdekatan.
Video kolase gambar di TikTok memperlihatkan foto bangunan yang diklaim sebagai rumah pengungsi Rohingya di Bangladesh. Foto yang sama pernah tayang dalam berita Tempo dan New York Times.
Foto tersebut menunjukkan rumah-rumah yang dibangun pemerintah Bangladesh, di Pulau Bhasan Char, untuk pengungsi Rohingya. Jumlah rumahnya 1.440 unit, dengan dapur dan kamar mandi yang digunakan bersama untuk penghuni beberapa rumah yang berdekatan.
Kondisi Pengungsian di Bangladesh
Menurut Senior Legal Services Officer Jesuit Refugee Service (JRS), Gading Gumilang Putra, dikutip dari laman Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan kelompok etnis muslim dari Myanmar terpaksa mengungsi dan tidak bisa pulang karena mengalami persekusi selama puluhan tahun. Menurutnya, Etnis Rohingya menjadi populasi tanpa warga negara terbesar di dunia. Sejak 1977-1978, mereka telah kehilangan kewarganegaraan. Sementara pada tahun 1979 sempat ada repatriasi dari Bangladesh. Kemudian pada 1982 ada konstitusi yang membuat mereka tidak memiliki status warga negara Myanmar.
Kerja paksa, pemindahan paksa, pemerkosaan, dan berbagai penjajahan etnis membuat Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Namun karena tidak ada kejelasan dan sanitasi yang buruk, maka di Bangladesh-pun ditolak di kamp-kamp pengungsi. Kondisi kamp sangat buruk dan kondisi mereka semakin rentan karena eksploitasi dan kekerasan. Bahkan pada 2017 ada kampanye anti Rohingya. Kemudian pada tahun 2021 karena kondisi Myanmar juga bergejolak termasuk kepada etnis lain, sedangkan di Bangladesh juga tidak layak.
Kekerasan yang berlangsung sejak 2017, ratusan ribu orang Rohingya berpindah dan tinggal di kamp pengungsian Cox's Bazar, Bangladesh. Menurut UNFPA per Juni 2023, hampir 1 juta pengungsi Rohingya tinggal di Cox's Bazar, yang disebut sebagai kamp pengungsi terbesar di dunia. Namun kondisi di Cox Bazar sangat sulit. Banyak pengungsi Rohingya tinggal di tempat penampungan sementara yang penuh sesak dan tidak memberikan privasi yang memadai serta menimbulkan risiko perlindungan bagi perempuan dan anak perempuan.
Layanan dasar juga terbatas di dalam jaringan kamp. Banyak pengungsi Rohingya yang sepenuhnya bergantung pada bantuan kemanusiaan. Bangladesh juga rentan terhadap bencana alam dan para pengungsi di Cox Bazar telah terpapar banjir, angin topan, dan tanah longsor, yang kemungkinan besar akan meningkat frekuensi dan intensitasnya dari waktu ke waktu.
Dari laporan BBC yang dipublikasikan ulang oleh Tempo, Pemerintah Bangladesh kemudian membangun kamp pengungsian di Bhasan Char. Lokasinya terletak 60 km dari daratan utama Bangladesh, yang muncul ke permukaan laut kurang dari 20 tahun lalu. Ketinggian tanahnya kurang dari dua meter di atas permukaan laut. Materi tanahnya adalah tanah lempung, berasal dari sedimen Himalaya yang dibawa sungai ke laut.
Pemerintah Bangladesh bertujuan merelokasi lebih dari 100.000 pengungsi ke pulau itu guna meredakan ketegangan di kamp-kamp pengungsian di Cox Bazar.
Akan tetapi, bagi banyak orang Rohingya, pulau itu adalah "penjara" dan dari 306 pengungsi yang kini bermukim di pulau tersebut, semuanya direlokasi tanpa persetujuan mereka. Tidak ada pengungsi yang diperbolehkan pergi. PBB mengatakan sebagian besar 306 orang itu adalah perempuan dan anak-anak.
Dari Cox's Bazar ke Aceh
Media asal Jerman, DW dan media Australia, ABC, melaporkan bahwa orang-orang Rohingya yang datang ke Provinsi Aceh sejak November, adalah mereka yang berasal dari kamp pengungsian Cox Bazar, bukan Pulau Bhasan Char.
Seorang pengungsi, Abdu Rahman, mengatakan bahwa kondisi Kamp pengungsian Cox Bazar semakin tidak aman dengan lebih seringnya terjadi kriminalitas. Situasi itu membuat mereka merasa masa depan semakin suram.
Di tengah kondisi itu, mereka mendapatkan tawaran dari sindikat penyelundupan orang. Sindikat itu menawarkan perjalanan ke Indonesia atau Malaysia dengan sejumlah imbalan. Indonesia dipilih karena ongkosnya lebih murah, yakni 1,800 USD. Senior Legal Services Officer Jesuit Refugee Service (JRS), Gading Gumilang Putra, mengingatkan bahwa warga etnis Rohingya adalah korban, bukan pelaku.
Jadi pengungsi Rohingya yang datang ke Aceh baru-baru ini berasal dari kamp pengungsian Cox's Bazar, bukan dari Pulau Bhasan Char yang sulit bagi pengungsi Rohingya keluar dari pulau itu.
Aktivis HAM dan demokrasi di Indonesia dan ASEAN, Rafendi Djamin, dikutip dari laman BRIN, memberikan paparan mengenai Hak Asasi Manusia, Komitmen Global Indonesia, dan Konsekuensinya. Dalam perspektif HAM, Rohingya adalah pencari suaka politik atau pengungsi politik yang tergolong dalam kategori kelompok rentan dalam masyarakat. Rohingya juga mempunyai hak mencari perlindungan internasional di bawah dasar hukum HAM dan Humaniter Internasional Refugee Convention 1951.
Rafendi menerangkan, hak yang paling utama adalah penghargaan dari negara atas prinsip bahwa Indonesia dan seluruh negara harus melindungi orang yang mencari perlindungan internasional. Pada konvensi tersebut, negara tidak boleh mengembalikan orang yang mencari suaka tanpa memperhatikan keselamatan pengungsi (non refoulement). Indonesia wajib melaksanakan semua konvensi HAM internasional yang telah diratifikasi. Pemerintah pusat dan daerah mempunyai tanggung jawab HAM yang sama, Indonesia memiliki komitmen global mengenai HAM internasional.
KESIMPULAN
Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa narasi yang mengatakan pengungsi Rohingya meninggalkan kamp pengungsian mewah di Bangladesh, dan pergi ke Indonesia karena malas bekerja adalah keliru.
Pengungsi Rohingya yang datang ke Indonesia baru-baru ini berasal dari kamp pengungsian Cox's Bazar, bukan dari Pulau Bhasan Char. Mereka juga enggan dipindah ke Pulau Bhasan Char yang dilengkapi bangunan rumah baru, karena tidak adanya pekerjaan dan tingginya potensi bencana alam.
TIM CEK FAKTA TEMPO
**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id