Keliru, Gempa dan Tsunami Palu Karena Kemaksiatan

Selasa, 4 Juli 2023 08:39 WIB

Keliru, Gempa dan Tsunami Palu Karena Kemaksiatan

Sebuah akun Facebook mengunggah sebuah foto dengan narasi bahwa gempa dan tsunami Palu disebabkan kemaksiatan. Foto tersebut diberi keterangan “Palu Dibersihkan”.

Akun ini menulis: “Pusat pelacuran terbesar di Sulawesi rata dihantam tsunami, ladies-ladies night Pantai Talise tinggal mayat tak berbusana, hotel-hotel bintang 5, grand mall dan karaoke roboh karena gempa. Masjid kecil pusat dakwah di jalan Mangga, jangankan roboh, jam dindingnya tidak jatuh, pondok-pondok pesantren tempat menghafal kalam-kalam Allah berdiri kokoh”.

Sejak diunggah tanggal 26 juli 2019, unggahan ini telah mendapatkan 5,5 ribu komentar dan dibagikan 33 ribu kali pengguna Facebook.

Benarkah gempa dan tsunami Palu karena maksiat? Berikut pemeriksaan faktanya.

Advertising
Advertising

PEMERIKSAAN FAKTA

Untuk verifikasi klaim tersebut, Tim Cek Fakta Tempo menggunakan hasil riset, pernyataan otoritas terkait, dan pemberitaan media-media kredibel di Indonesia.

Berdasarkan penelusuran Tempo, pada tanggal 28 September 2018, pukul 17:02 WIB, terjadi gempa di wilayah Donggala, Sulawesi Tengah. Dilansir Kementerian ESDM, gempa dengan magnitude mencapai 7,7 skala richter (SR), berpusat pada koordinat 0,178, S-119,840N, sekitar 25 km timur laut Donggala) pada kedalaman 10 km.

Gempa diikuti tsunami dengan ketinggian gelombang 1,5 hingga 2 meter yang melanda pantai Kota Palu serta diikuti likuifaksi.

Eko Budi Lelono, Kepala Pusat Survei Geologi, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan berdasarkan data, titik pusat gempa bumi tampak sangat jelas mengikuti pola patahan Palu-Koro, yang merupakan salah satu patahan aktif di Indonesia yang memotong wilayah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.

“Patahan Palu-Koro melintang dari utara ke selatan, dari Tanjung Mangkaliat di Kalimantan Utara hingga perbatasan Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara dengan panjang sekitar 330 kilometer,” kata Eko.

Eko juga menjelaskan bahwa berdasarkan analisis, tsunami diduga terjadi akibat foot wall dari Patahan Palu-Koro di sebelah barat, pada dasar laut, yang bergeser mendatar mengiri-naik, sehingga air laut terlempar ke atas, dan menjadi gelombang air laut yang menerjang pantai Palu dan sekitarnya.

Dilansir BMKG, dari bukti lapangan menunjukkan Tsunami Donggala 28 September 2018 tergolong tsunami longsoran dasar laut (submarine landslide) yang dipicu oleh Gempa Bumi. Patahan gempa bumi tersebut menyebabkan longsoran dasar laut, ini dibuktikan dengan ditemukannya banyak tanah tenggelam (amblas), perubahan muka pantai yang drastis, pepohonan kelapa tumbang dan tergenang lautan serta sejumlah tanah terbelah mulai terlihat dari Pantai Lero, Marana, Enu hingga ke Labean.

Selain tsunami, dampak lanjutan dari gempa palu 2018 adalah likuifaksi, yaitu fenomena hilangnya kekuatan lapisan tanah akibat beban getaran gempa, juga biasa disebut “tanah bergerak sendiri”.

Imam Achmad Sadisun, Ahli Geologi, dari Kelompok Keahlian Geologi Terapan, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB mengatakan fenomena likuifaksi secara sederhana dapat diartikan sebagai perubahan material padat berupa endapan sedimen atau tanah sedimen, yang akibat kejadian gempa, material tersebut seakan berubah karakternya seperti cairan.

"Karena adanya gempa bumi yang umumnya menghasilkan gaya guncangan yang sangat kuat dan tiba-tiba, tekanan air pori tersebut naik seketika, hingga melebihi kekuatan gesek tanah. Proses inilah yang menyebabkan likuifaksi terbentuk dan material pasir penyusun tanah menjadi seakan melayang di antara air," kata Iman.

Citra satelit wilayah Petobo Palu saat terjadi likuifaksi tahun 2018. Sumber gambar: DigitalGlobe, a Maxar company ©2018. Diolah oleh Tim Cek Fakta Tempo.

Iman juga menjelaskan, jika posisi tanah ini berada di suatu kemiringan, tanah dapat 'bergerak' menuju bagian bawah lereng secara gravitasional, seakan dapat 'berjalan' dengan sendirinya. Sehingga benda yang berada di atasnya, seperti rumah, tiang listrik, pohon, dan lain sebagainya ikut terbawa. Seperti yang terjadi di desa Petobo, Palu, tahun 2018 silam.

Dilansir BNPB, hasil analisis inaRISK menunjukan Provinsi Sulawesi Tengah memiliki potensi bahaya gempa bumi dengan kategori sedang hingga tinggi. Ada 13 wilayah administrasi setingkat kabupaten dan kota berada dalam potensi bahaya. Sementara di Kota Palu, ada 8 kecamatan atau 8.530 hektar memiliki potensi bahaya gempa bumi sedang hingga tinggi.

Penelusuran Foto

Berdasarkan penelusuran Tempo, Masjid pada gambar tersebut identik dengan foto yang diunggah pada kanal Tempo Witness tanggal 18 Desember 2018. Masjid tersebut adalah Masjid Terapung Palu atau Masjid Arqam Bab Rahman, yang terletak di Jalan Cumi-cumi, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Dilansir Tempo, masjid Masjid Arqam Bab Al Rahman dibangun tahun 201. Saat terjadi gempa dan tsunami 28 September 2018, tiang penopang masjid roboh hingga tidak lagi mengapung di atas laut.

Reporter Tempo yang berkunjung ke masjid Apung Palu pada Minggu, 14 Oktober lalu, masjid yang membelakangi Pantai Talise itu masih terlihat struktur bangunannya. Namun, ruang-ruang dalam bangunan itu telah tergenang air laut, penopang masjid tersebut ambruk dan jembatan penghubungnya ikut rusak.

KESIMPULAN

Berdasarkan pemeriksaan fakta, Tim Cek Fakta Tempo menyimpulkan, unggahan dengan klaim “Gempa dan Tsunami di Palu Karena Maksiat” adalah keliru.

Gempa bumi yang terjadi di Palu, 28 September 2018, diakibatkan oleh aktivitas di patahan Palu-Koro, yang merupakan salah satu patahan aktif di Indonesia yang memotong wilayah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Aktivitas patahan Palu-Koro menyebabkan air laut terlempar ke atas, dan menjadi gelombang air laut yang menerjang pantai Palu dan sekitarnya.

TIM CEK FAKTA TEMPO

** Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id