Keliru, NeoCov Merupakan Varian Baru Covid-19 yang Ditemukan di Afrika Selatan

Rabu, 16 Februari 2022 17:23 WIB

Keliru, NeoCov Merupakan Varian Baru Covid-19 yang Ditemukan di Afrika Selatan

Klaim bahwa varian baru Covid-19 telah ditemukan di Afrika Selatan beredar di media sosial. Klaim tersebut dibagikan dengan narasi bahwa varian baru Covid-19 tersebut bernama NeoCov.

Di Facebook, klaim tersebut dibagikan akun ini pada 28 Januari 2022. Akun inipun menuliskan narasi, “Di afrika selatan baru ditemukan varian terbaru dari covid19.. NeoCov.. siap2 vaksin ke4 bakal dirilis lagi..”

Apa benar NeoCov Merupakan varian baru Covid-19 yang ditemukan Afrika Selatan?

Tangkapan layar unggahan dengan yang mengklaim NeoCov Merupakan Varian Baru Covid-19 yang Ditemukan di Afrika Selatan

PEMERIKSAAN FAKTA

Advertising
Advertising

Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim Cek Fakta Tempo menelusuri informasi tersebut di mesin pencari Google dengan menggunakan kata kunci “NeoCov”. Hasilnya, NeoCov bukanlah varian baru Covid-19.

Mengutip CNN Indonesia, peneliti China menemukan virus baru Neoromicia Capensis atau dikenal sebagai Neocov. Para ilmuwan pertama kali menemukan Neocov di antara kelelawar yang hidup di Afrika Selatan.

Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa Neocov bukanlah merupakan varian baru coronavirus diseases (covid-19) yang menyebabkan pandemi. Virus ini justru merupakan kerabat dekat dari virus Middle East Respiratory Syndrome (MERS).

Sebagai informasi, MERS merupakan virus yang merebak di Arab Saudi pada 2012. Virus ini menyebabkan demam, batuk, hingga gangguan pernapasan.

Dilansir dari CNBC Indonesia, laporan jurnal BioRxiv, peneliti Universitas Wuhan dan Institut Biofisika Akademi Ilmu Pengetahuan China menyebut virus ini bukan varian baru corona. Bahkan NeoCov disebut sudah ada sejak lama.

NeoCov dikatakan berhubungan dengan wabah MERS-CoV tahun 2012 dan 2015. Dilaporkan juga mirip seperti SARS-CoV-2. "MERS-CoV telah diidentifikasi di beberapa negara di Timur Tengah, Afrika dan Asia Selatan," kata Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dikutip dari Independent.

Pada penelitian terbaru, ilmuwan di Wuhan mengingatkan NeoCov bisa menyebabkan masalah jika ditransfer dari kelelawar ke manusia.

Virus ini nampaknya tidak dinetralisir oleh antibodi manusia yang ditargetkan untuk virus Covid-19 atau MERS-Cov. Namun hingga sekarang belum ada bukti atau indikasi seberapa menular atau fatalnya NeoCov.

"Kita perlu melihat lebih banyak data yang mengonfirmasi infeksi pada manusia dan tingkat keparahan yang terkait sebelum menjadi cemas," kata Profesor Lawrence Young, ahli virus di Universitas Warwick.

"(Studi) awal menunjukkan bahwa infeksi sel manusia dengan NeoCoV sangat tidak efisien. Apa yang disoroti ini, bagaimanapun, adalah perlunya waspada tentang penyebaran infeksi virus corona dari hewan (terutama kelelawar) ke manusia. Ini adalah pelajaran penting yang perlu kita pelajari yang membutuhkan integrasi yang lebih baik dari penelitian penyakit menular pada manusia dan hewan".

Berdasarkan arsip berita Tempo, mantan Direktur Penyakit Menular World Health Organization atau WHO Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama mengatakan, setidaknya ada lima informasi penting yang perlu diketahui tentang apa itu NeoCoV.

Pertama, temuan virus itu baru berdasarkan analisa di laporan artikel. "Sejauh ini belum menginfeksi manusia," kata Tjandra Yoga Aditama dalam keterangan tertulis, Minggu, 30 Januari 2022.

Kedua, dalam artikel itu tersebut, NeoCoV yang berpotensi bermutasi kemungkinan dapat menimbulkan masalah pada manusia. "Artinya sekarang belum bermutasi dan belum tentu akan bermutasi lagi atau tidak," kata Tjandra Yoga yang juga Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI. "Bisa saja virus itu tetap seperti sekarang dan tidak bermutasi lagi."

Ketiga, Tjandra Yoga Aditama melanjutkan, ada teori yang menyatakan, karena NeoCoV adalah virus Corona seperti juga penyebab MERS CoV dan pemicu Covid-19, maka orang dapat beranggapan jika nanti NeoCoV bermutasi, bisa jadi penularannya akan seperti Covid-19 dan fatalitasnya menyerupai MERS CoV. "Hanya saja, ini kalau NeoCoV bermutasi ke arah itu. Namun bisa saja mutasinya ke arah lain lagi," ujarnya.

Tjandra Yoga Aditama menjelaskan, banyak kemungkinan dalam perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk tentang virus. Keempat, dia menjelaskan, mungkin saja NeoCoV yang disampaikan para ilmuan Cina itu, saat ini tidak bermutasi ke arah yang membahayakan manusia manusia. "Kapaupun menyerang manusia, maka bisa saja seperti yang dikawatirkan dan bisa juga tidak seperti itu," ujarnya.

Kelima, lantas apa yang perlu dilakukan sekarang? Tjandra Yoga Aditama mengatakan, para ahli tentu terus memantau perkembangan NeoCoV dan masyarakat dapat mengikuti perkembangan ilmiah dari sumber yang valid atau kredibel. "Perlu juga diketahui, mungkin saja ada virus-virus jenis baru dari waktu ke waktu dan ini sudah terjadi sejak dulu. Karena sekarang sedang pandemi Covid-19, maka semua orang memberi perhatian penuh dalam hal ini," katanya.

KESIMPULAN

Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa varian baru Covid-19 bernama NeoCov ditemukan di Afrika Selatan, keliru. Neoromicia Capensis atau dikenal sebagai NeoCov memang pertama kali ditemukan para peneliti di antara kelelawar yang hidup di Afrika Selatan.

Namun, NeoCov bukanlah varian baru Covid-19. NeoCov merupakan kerabat dekat dari virus Middle East Respiratory Syndrome (MERS) yang telah ditemukan pada tahun 2012 di Timur Tengah.

TIM CEK FAKTA TEMPO