Keliru, Pernyataan Robert Malone soal Vaksin mRNA untuk Covid-19 belum Diuji secara Memadai dan Vaksinasi Anak Tidak Bermanfaat.
Kamis, 6 Januari 2022 18:31 WIB
Potongan video Robert Malone yang berisi beberapa klaim bahwa vaksin mRNA belum diuji memadai dan tidak ada manfaat memberikan vaksin bagi anak, diunggah salah satu akun ke Twitter pada 26 Desember 2021. Adapun Robert Malone adalah seorang ahli virus dan imunologi asal Amerika Serikat.
Dalam video berdurasi 2 menit 20 detik itu, Robert Malone berpakaian jas hitam lengkap, membacakan sejumlah narasi tentang pemberian vaksin mRNA bagi anak-anak. Pada satu menit awal, Robert mengatakan bahwa vaksin dapat menyebabkan gangguan pada otak, penyakit jantung, dan kerusakan sistem reproduksi.
“Ini tentang fakta bahwa teknologi baru (vaksin mRNA) itu belum diuji memadai. kita membutuhkan setidaknya lima tahun untuk penelitian dan pengujian. sebelum kita benar-benar memahami risikonya yang terkait dengan teknologi ini,” kata dia.
Sedangkan pada menit kedua, Robert mengatakan bahwa vaksinasi anak adalah bagian dari eksperimen paling radikal dalam sejarah manusia. Alasan vaksinasi pada anak dianggap hanyalah kebohongan.
“Poin terakhir alasan mereka memberi vaksin anak Anda adalah kebohongan. Anak-anak tidak berbahaya bagi orangtua atau kakek nenek mereka. kebalikannya ada kekebalan setelah kena covid diciptakan untuk mengamankan keluarga anda jika bukan dunia dari penyakit ini,” katanya.
PEMERIKSAAN FAKTA
Klaim 1: Vaksin mRNA belum diuji memadai
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa teknologi vaksin mRNA COVID-19 telah dinilai secara ketat terkait aspek keamanan. Dalam uji klinis telah menunjukkan bahwa vaksin mRNA menghasilkan respons imun yang memiliki kemanjuran tinggi terhadap penyakit. Teknologi vaksin mRNA telah dipelajari selama beberapa dekade, termasuk dalam konteks vaksin Zika, rabies, dan influenza. Vaksin mRNA tidak menggunakan virus hidup dan tidak mengganggu DNA manusia.
Vaksin Covid-19 yang menggunakan teknologi mRNA dan telah mendapatkan izin penggunaan dari sejumlah negara yakni Pfizer-BioNTech dan Moderna. Pusat Pencegahan dan Pengendalian Amerika Serikat (CDC) menjelaskan, seperti semua vaksin, vaksin mRNA bermanfaat bagi orang yang divaksinasi dengan memberi mereka perlindungan terhadap penyakit seperti COVID-19 tanpa mempertaruhkan konsekuensi yang berpotensi serius dari sakit.
Dikutip dari laman Komisi Eropa, Michel Goldman, seorang Profesor Imunologi dan pendiri Institut untuk Inovasi Interdisipliner dalam perawatan kesehatan di Université Libre de Bruxelles, Belgia, menjelaskan proses vaksin Covid-19 mRNA lebih cepat dari biasanya. Ini karena para peneliti sebelumnya telah membangun platform mRNA untuk kebutuhan vaksin kanker atau vaksin lain yang sedang diuji coba. Artinya, vaksin mRNA dapat diterapkan segera setelah urutan genom virus dibagikan.
Selama pandemi Covid-19, regulator vaksin juga bekerja lebih cepat dari biasanya untuk meninjau data uji coba Covid-19 mRNA. Akan tetapi standar aturan tetap diberlakukan seperti vaksin-vaksin sebelumnya. “Saya benar-benar tidak berpikir mereka memotong ‘tikungan’ dalam hal keamanan,” kata Prof. Goldman. Uji coba vaksin mRNA untuk Covid-19 dilakukan secara bertahap, dimulai dengan uji coba pada hewan, dan kemudian tiga uji coba pada manusia – Fase 1, Fase 2, dan akhirnya Fase 3.
Klaim 2: Vaksin mRNA merusak otak, jantung dan sistem reproduksi
Kondisi neurologis yang langka dapat terjadi setelah vaksinasi Covid, tetapi risikonya jauh lebih tinggi pada orang yang terinfeksi Covid-19, menurut penelitian yang dimuat di Nature Medicine, seperti dikutip dari BBC edisi 25 Oktober 2021. Penelitian penting di Inggris ini menunjukkan bahwa vaksinasi menawarkan perlindungan terbaik untuk kesehatan secara keseluruhan.
Para ilmuwan, dari Universitas Oxford dan Edinburgh, membandingkan tingkat kondisi neurologis yang terlihat dalam sebulan setelah suntikan Covid pertama, dengan yang terlihat dalam sebulan setelah tes virus corona positif. Mereka mencari perbandingan kondisi langka yang disebut Guillain-Barre Syndrome (GBS), yang menyebabkan peradangan pada saraf dan dapat memicu mati rasa, kelemahan dan nyeri, biasanya di kaki, tangan dan anggota badan dan dapat menyebar ke dada dan wajah. GBS dapat diobati dan kebanyakan orang pada akhirnya akan sembuh total, tetapi bisa sangat serius dan bahkan mengancam jiwa bagi sebagian orang.
Salah satu hasil penelitian menunjukkan ada 60 kasus ekstra stroke hemoragik (pendarahan di otak) untuk setiap 10 juta orang dewasa yang mendapatkan vaksin mRNA Pfizer. Sedangkan terdapat 145 kasus GBS tambahan per 10 juta dengan tes positif dan 123 kasus gangguan peradangan otak ekstra seperti meningitis ensefalitis dan mielitis ditemukan per 10 juta orang yang positif Covid-19. Akan tetapi diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami hal ini.
Prof Julia Hippisley-Cox, dari Universitas Oxford, mengatakan: "Pesan yang sangat besar dari penelitian tersebut adalah ini adalah munculnya peristiwa neurologis yang mungkin terkait dengan vaksin sangat langka. Tetapi ada banyak bukti keefektifan vaksin terhadap penyakit serius.”
Terkait klaim vaksin menyebabkan gangguan jantung, Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (CDC) menjelaskan, jarang ada laporan terjadinya gangguan jantung seperti miokarditis dan perikarditis setelah vaksin Covid-19. Kasus miokarditis yang dilaporkan warga Amerika ke kanal laporan kejadian ikutan pasca imunisasi (Vaccine Adverse Event Reporting System/VAERS) terjadi setelah vaksinasi mRNA COVID-19 (Pfizer-BioNTech atau Moderna), terutama menimpa remaja pria dan dewasa muda, setelah mendapat dosis kedua.
Namun sebagian besar pasien dengan miokarditis atau perikarditis yang menerima perawatan, bisa pulih dengan cepat setelah mendapatkan obat dan istirahat cukup. Pasien biasanya dapat kembali ke aktivitas normal sehari-hari setelah gejala membaik.
Terakhir soal klaim vaksin Covid-19 mRNA dapat mengganggu sistem reproduksi atau kemandulan, tidak ada bukti atas klaim ini. Dikutip dari situs Science News, sebuah penelitian menemukan bahwa tidak ada perbedaan dalam tingkat kehamilan setelah transfer embrio pada wanita yang memiliki antibodi terhadap virus corona dari vaksinasi atau infeksi, dibandingkan dengan wanita yang tidak memiliki antibodi.
Para peneliti melaporkan hal itu dalam Fertility and Sterility Reports pada bulan September. Dalam uji klinis yang menguji vaksin, kehamilan yang tidak disengaja terjadi pada kelompok vaksin dan kelompok kontrol yang tidak divaksinasi pada tingkat yang sama, seperti data yang ditunjukkan dalam Nature Review Immunology pada bulan April.
Klaim 3: Vaksin untuk anak-anak tidak bermanfaat
John Hopkins Medicine menjelaskan bahwa anak-anak yang mendapatkan vaksin Covid-19 akan mendapatkan banyak manfaat. Pertama, vaksin membantu mencegah anak-anak terkena COVID-19. Meskipun COVID-19 pada anak-anak terkadang lebih ringan daripada orang dewasa, beberapa anak yang terinfeksi virus corona dapat mengalami infeksi paru-paru yang parah, menjadi sangat sakit, dan memerlukan rawat inap.
Vaksin membantu mencegah atau mengurangi penyebaran COVID-19: Seperti orang dewasa, anak-anak juga dapat menularkan virus corona kepada orang lain jika mereka terinfeksi, bahkan ketika mereka tidak memiliki gejala. Vaksin untuk anak juga dapat membantu menghentikan munculnya varian lain.
Menurut UNICEF, dari 3,4 juta kematian akibat Covid-19 di seluruh dunia, 0,4 persen di antaranya atau sekitar 12 ribu adalah anak-anak dan remaja yang berusia di bawah 20 tahun. Dari jumlah kematian anak-anak dan remaja itu, 58 persen adalah remaja berusia 10-19 tahun dan 42 persen berusia 0-9 tahun.
KESIMPULAN
Dari pemeriksaan fakta di atas, narasi bahwa vaksin mRNA untuk Covid-19 belum diuji secara memadai dan tidak ada manfaat vaksin untuk anak, adalah keliru. Proses pembuatan vaksin mRNA telah melalui uji keamanan yang ketat seperti halnya vaksin lainnya. Sedangkan vaksin untuk anak memiliki manfaat untuk mengurangi tingkat keparahan dan penyebaran Covid-19.
Tim Cek Fakta Tempo