Keliru, Varian Omicron Disebarkan untuk Memaksa Vaksinasi Covid-19 di Benua Afrika

Jumat, 3 Desember 2021 10:39 WIB

Keliru, Varian Omicron Disebarkan untuk Memaksa Vaksinasi Covid-19 di Benua Afrika

Narasi yang mengklaim bahwa menyebarnya varian Omicron untuk memaksa vaksinasi Covid-19 di Benua Afrika, menyebar di Facebook pada 28 November 2021. Unggahan ini beredar di tengah munculnya varian Omicron yang pertama kali terdeteksi di Afrika Selatan.

“Tujuan utama dari propaganda varian Omicron di benua Afrika adalah sebagai pressure atau pemaksaan program vaksinasi copet-69 di benua Afrika,” tulis narasi tersebut.

Dalam narasi itu juga disebutkan, paksaan vaksinasi karena diklaim mayoritas penduduk di benua Afrika menolak program vaksinasi Covid-19. “Terbukti selama ini kasus Covid-19 di benua Afrika itu sangat rendah, jika dibandingkan dengan negara di benua lainnya yang selama ini menerapkan program vaksinasi dengan masif kepada masyarakat.”

Tangkapan layar unggahan dengan klaim bahwa Varian Omicron sengaja disebarkan untuk memaksa vaksinasi Covid-19 di Benua Afrika

PEMERIKSAAN FAKTA

Advertising
Advertising

Hasil pemeriksaan fakta Tempo menunjukkan menyebarnya varian Omicron bukan bagian propaganda untuk memaksa vaksinasi Covid-19. Rendahnya tingkat vaksinasi di benua tersebut, disebabkan oleh banyak faktor. Namun ketidakmerataan akses dan cakupan vaksin Covid-19, mendorong munculnya varian virus baru.

Tempo memeriksa tiga klaim dari narasi yang beredar di Facebook tersebut dengan mengutip dari sejumlah pemberitaan dan analisa para pakar kesehatan.

Klaim 1: varian Omicron untuk memaksa vaksinasi Covid-19 di Benua Afrika

Menurut Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) Amerika Serikat, virus terus berubah melalui mutasi dan terkadang mutasi ini menghasilkan varian virus baru. Beberapa varian muncul dan menghilang sementara yang lain bertahan. Varian baru akan terus bermunculan.

Menurut CDC, dengan potensi munculnya varian virus baru, memberikan vaksinasi adalah cara terbaik untuk mengurangi penyebaran infeksi dan memperlambat varian baru. Vaksin justru dapat mengurangi risiko keparahan penyakit, rawat inap, dan kematian akibat COVID-19. Dengan demikian munculnya varian Omicron bukan bagian propaganda. Peningkatan vaksinasi Covid-19 di benua Afrika dibutuhkan untuk mengurangi risiko keparahan dan kematian akibat Covid-19.

Varian Omicron memang dideteksi pertama kali muncul di Afrika Selatan pada 24 November 2021. Akan tetapi, varian baru telah menyebar di Belanda, Belgia, Jerman, Perancis, Jepang, Hongkong dan Amerika Serikat. Sehingga munculnya varian virus baru ini menjadi ancaman global.

Klaim 2: mayoritas penduduk di benua Afrika menolak program vaksinasi Covid-19

Dikutip dari Time, hingga 1 Desember 2021, tingkat vaksinasi dengan dosis penuh di benua Afrika baru mencapai 7,3 persen, jauh dibandingkan Eropa dan Amerika yang mencapai sebesar 58 persen.

Rendahnya tingkat vaksinasi tersebut, disebabkan oleh faktor yang cukup kompleks. Di antaranya karena koordinasi yang kurang dalam pengiriman vaksin, infrastruktur kesehatan yang lemah dan keragu-raguan penduduk.

Sebagian besar negara Afrika mengandalkan COVAX, sebuah program yang dibuat untuk memasok vaksin ke negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah—untuk menyediakan pengiriman vaksin COVID-19. Namun, ketika produsen vaksin terbesar di dunia, Serum Institute of India, dilanda masalah produksi dan larangan ekspor menyusul lonjakan COVID-19 di India sendiri, pengiriman vaksin melambat hingga menetes. Hanya 245 juta dosis yang telah dikirim ke Afrika sub-Sahara, menurut pelacak vaksin UNICEF.

Banyak negara Afrika terpaksa bergantung pada sumbangan. Tetapi pengiriman sering kali “tidak terkoordinasi dengan baik”, kata Dr. Lul Riek, koordinator Afrika bagian selatan untuk Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Afrika. Lebih buruk lagi, beberapa pengiriman menyertakan dosis yang mendekati tanggal kadaluarsa.

Bahkan ketika ada cukup dosis vaksin yang tersedia, keragu-raguan vaksin di seluruh benua tinggi—dipicu oleh kombinasi misinformasi online, ketidakpercayaan para pemimpin pemerintah dan sejarah eksperimen medis Barat di benua itu.

Ketimpangan vaksinasi Covid-19 tersebut diduga menjadi penyebabnya munculnya varian baru Covid-19. “Apa yang terjadi saat ini sebagian besar tidak dapat dihindari. Varian saat ini, Omicron, adalah hasil dari kegagalan dunia untuk memvaksinasi warganya dengan cara yang adil dan efisien,” kata Dr. Ayoade Alakija, ketua Aliansi Pengiriman Vaksin Afrika Uni Afrika. “Perilaku tidak pengertian dan isolasionis dari Global North telah menciptakan situasi saat ini, dan sampai mereka dimintai pertanggungjawaban, saya khawatir Omicron mungkin baru permulaan,” kata dia menambahkan.

Klaim 3: Vaksinasi rendah mempengaruhi kasus Covid-19 di benua Afrika juga rendah

Dampak pandemi Covid-19 di Afrika Sub-Sahara memang lebih rendah dibandingkan dengan Eropa, Amerika dan Asia. Namun hal itu tidak terkait dengan rendahnya tingkat vaksinasi, mengingat bagaimana vaksin dapat mengurangi tingkat keparahan dan kematian akibat Covid-19.

Dikutip dari The Conversation, dalam sebuah studi yang dipimpin analis kesehatan Janica Adam, memeriksa berbagai kemungkinan dengan peninjauan literatur untuk menjawab hal itu. Akan tetapi diperlukan lebih banyak penelitian untuk lebih memahami apa saja faktor-faktor yang berkontribusi pada rendahnya dampak Covid-19 di Afrika.

Faktor pertama terkait demografi usia. Sebagian besar kematian terjadi pada mereka yang berusia 65 tahun atau lebih. Di Amerika Utara dan Selatan, Eropa dan Asia, rata-rata usia penduduk berkisar antara 32 hingga 42,5 tahun. Kanada misalnya dengan usia rata-rata 41.1 dengan sekitar 18 persen populasi penduduk berusia 65 tahun. Kanada telah mencatat hampir 1,5 juta kasus Covid-19 dan 27 ribu kematian.

Sedangkan struktur demografi usia penduduk Afrika sub-Sahara jauh lebih muda – usia rata-rata adalah 18 tahun. Misal di Uganda, dengan rata-rata usia penduduk 16,7 dan hanya 2 persen populasinya berusia 65 tahun atau lebih. Uganda hanya mencatat kasus Covid-19 kurang dari 100 ribu dan 3 ribu kematian.

Fakta kedua terkait fasilitas perawatan jangka panjang atau panti jompo. Di Afrika sub-sahara, kebanyakan orang lanjut usia tidak tinggal di fasilitas panti jompo, sebagaimana di Kanada. Orang lanjut usia di Afrika tinggal bersama keluarga yang mengurangi penularan penyakit. Berbeda dengan Kanada di mana 81 persen kematian terjadi di panti jompo.

Ketiga, adanya keterbatasan pengujian SARS-CoV-2. Pengumpulan data yang tidak memadai dapat berarti kita tidak benar-benar mengetahui kasus dan prevalensi COVID-19.

Keempat, respons kesehatan masyarakat pemerintah yang efektif. Respon cepat dari beberapa pemerintah Afrika dan organisasi kesehatan mungkin telah memainkan peran penting. Pada awal pandemi, beberapa langkah dilakukan: screening, pembentukan Africa Task Force untuk Novel Coronavirus, penangguhan penerbangan dari China dan penutupan perbatasan di 40 negara Afrika. Program baru juga mempromosikan berbagi informasi COVID-19 di seluruh Afrika sub-Sahara.

KESIMPULAN

Dari pemeriksaan fakta di atas, Tempo menyimpulkan, klaim menyebarnya varian Omicron untuk memaksa vaksinasi Covid-19 di Benua Afrika, adalah keliru. Munculnya varian baru sebagai sifat virus yang terus berubah melalui mutasi dan terkadang mutasi ini menghasilkan varian virus baru. Beberapa varian muncul dan menghilang sementara yang lain bertahan.

Tingkat vaksinasi Covd-19 di Afrika paling rendah karena disebabkan berbagai faktor. Di antaranya karena koordinasi yang kurang dalam pengiriman vaksin, infrastruktur kesehatan yang lemah dan keragu-raguan penduduk akibat misinformasi, ketidakpercayaan para pemimpin pemerintah dan sejarah eksperimen medis Barat di benua itu.

Tim Cek Fakta Tempo