Keliru, Narasi Tentang Kenaikan Prevalensi Merokok Anak Tidak Terkait dengan Iklan Rokok

Jumat, 22 Oktober 2021 13:15 WIB

Keliru, Narasi Tentang Kenaikan Prevalensi Merokok Anak Tidak Terkait dengan Iklan Rokok

Sebuah poster berisi klaim terkait kenaikan prevalensi merokok anak tidak terkait dengan iklan rokok dan jumlah perokok anak turun, beredar di Twitter, 16 Oktober 2021. Salah satu akun mengunggah klaim itu setelah Pemprov DKI Jakarta menutup display penjualan rokok di minimarket.

“Nah lo. Kalo emang datanya udah turun, terus kemarin pada nutupin warung rokok pake tirai berarti bukan karena alasan biar anak2 gak merokok kali, ya. Tapi buat laporan sama ndoro funding kali, ya,” tulis akun itu menyertai poster yang diunggah.

Poster itu berisi dua teks: “Kenaikan prevalensi perokok anak tidak disebabkan oleh iklan rokok, namun minimnya edukasi pemerintah.”

Teks kedua memuat data tentang jumlah perokok anak mencapai 9,76 persen tahun 2018. Tahun 2019 menurun menjadi 3,87 persen dan jumlah 2020 menurun lagi menjadi 3,81 persen.

Tangkapan layar unggahan poster berisi klaim terkait kenaikan prevalensi merokok anak dikaitkan dengan iklan rokok dan jumlah perokok anak turun

Advertising
Advertising

PEMERIKSAAN FAKTA

Hasil verifikasi Tempo menunjukkan, ada kaitan yang erat antara kenaikan iklan rokok dengan prevalensi merokok anak. Gencarnya iklan, promosi, dan sponsor rokok berdampak pada semakin meningkatnya prevalensi merokok pada anak-anak dan remaja. Dua penelitian berikut menunjukkan bahwa iklan, promosi, dan sponsor rokok menimbulkan keinginan anak dan remaja untuk merokok.

Pertama, penelitian Tobacco Control Support Centre - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TSCC-IAKMI), menunjukkan ada kaitan erat antara iklan rokok dan prevalensi perokok anak. Penelitian berjudul Paparan Iklan, Promosi, dan Sponsor Rokok di Indonesia (2018), tersebut menemukan hubungan yang signifikan antara paparan iklan rokok di TV, radio, billboard, poster, dan internet dengan status merokok pada anak dan remaja usia dibawah 18 tahun.

Anak dan remaja usia dibawah 18 tahun lebih banyak terpapar iklan rokok melalui TV (85%), banner (76,3%), billboard (70,9%), poster (67,7%), tembok publik (57,4%), kendaraan umum (47,3%), internet (45,7%), koran/majalah (23,6%), radio (17,4%), dan bioskop (12,4%).

Sumber: Tobacco Control Support Centre - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TSCC-IAKMI) dalam studi Paparan Iklan, Promosi, dan Sponsor Rokok di Indonesia (2018).

Sumber: Tobacco Control Support Centre - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TSCC-IAKMI) dalam studi Paparan Iklan, Promosi, dan Sponsor Rokok di Indonesia (2018).

Selain itu, didapatkan pula hasil bahwa ada hubungan yang signifikan antara pemberian sampel rokok gratis, sponsor rokok di acara olahraga, logo pada merchandise, sponsor rokok di acara musik, dan harga diskon dengan status merokok pada anak dan remaja usia dibawah 18 tahun.

Selain dari iklan, anak dan remaja usia dibawah 18 tahun pun lebih banyak terpapar promosi dan sponsor rokok di toko yang menjual rokok (74,2%), acara olahraga (46,6%), logo pada merchandise (39,1%), acara musik (39%), pembagian sampel rokok gratis (14,7%), harga diskon (12,3%), hadiah gratis atau diskon spesial (8,7%), kupon/voucher rokok (5,4%), dan surat (6,5%).

Penelitian tersebut menggunakan desain potong lintang dengan metode pengambilan sampel dilakukan dengan Multistage Cluster Sampling. Studi dilakukan terhadap 5.234 responden atau 97,8% dari total sample yang berasal dari 16 kota/kabupaten, 139 kecamatan dan 279 desa/kelurahan. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner.

Kedua, penelitian oleh Yayasan Lentera Anak, Ruandu Foundation, Gagas, dan Komunitas Peduli Udara Bersih tahun 2021, juga memperkuat temuan dari TSCC-IAKMI.

Penelitian berjudul Survei Keterpaparan Iklan Rokok Elektrik pada Perokok Anak dan Hubungan Iklan Rokok Konvensional terhadap Preferensi Rokok yang Disukai Anak, itu melibatkan 180 anak yang merokok (laki-laki dan perempuan) di rentang usia 10-18 tahun di Jakarta, Solo, Jember, Padang dan Mataram.

Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari, mengatakan, hasil penelitian menunjukkan sebanyak 99,4 persen anak mengaku pernah melihat iklan rokok dan 76,7 persen anak mengaku banyak terpapar iklan rokok. Disebut banyak karena diasumsikan anak terpapar oleh iklan rokok lebih dari satu kali dalam sehari.

Selain itu 60,6 persen anak mengaku bahwa mereka terpapar oleh iklan rokok elektrik. Anak-anak paling banyak melihat iklan rokok elektrik di media sosial sebesar 88,1%. Sedangkan untuk yang lainnya melihat di berita online sebesar 3,7%.

Paparan iklan rokok tersebut juga mempengaruhi perilaku merokok anak. Menurut Lisda, setelah dilakukan analisis hubungan antara iklan rokok yang diingat anak dengan merek rokok yang paling disukai, nilai signifikansinya sebesar 0,003. Artinya terdapat hubungan yang besar antara iklan rokok dengan merek rokok yang paling disukai anak

Klaim 2: jumlah perokok anak turun

Sumber data yang tertulis dalam poster digital tersebut merujuk data Persentase Merokok Pada Penduduk Usia ≤ 18 Tahun, Menurut Jenis Kelamin (Persen), 2018-2020 oleh Badan Pusat Statistik. Menurut data tersebut, jumlah persentase merokok penduduk usia di bawah 18 tahun pada 2018 secara nasional, mencapai 9,65 persen. Sedangkan pada 2019 mencapai 3,87 persen dan 3,81 persen pada 2020.

Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat Badan Pusat Statistik, Ahmad Avenzora, menjelaskan data persentase merokok penduduk usia di bawah 18 tahun pada 2018 dan 2019-2020, menggunakan sumber data yang berbeda. Tahun 2018 menggunakan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan. Sementara tahun 2019 dan 2020 dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).

“Ada perbedaan pendekatan antara Riskesdas dan Susenas. Sebenarnya tidak apple to apple untuk membandingkan yang 2018 dengan 2019 dan 2020,” kata Ahmad kepada Tempo, 19 Oktober 2021.

Salah satu perbedaan pendekatan antara Riskesdas dan Susenas, kata Ahmad Avenzora, terkait jenis rokok. Di Riskesdas, mencakup jenis rokok elektrik. Sedangkan pada Susenas, tidak memasukkan rokok elektrik.

Menurut Ahmad, dengan perbedaan sumber data tersebut, tidak bisa disimpulkan bahwa jumlah perokok anak menurun signifikan dari tahun 2018 ke tahun 2019-2020.

KESIMPULAN

Dari pemeriksaan fakta di atas, klaim terkait kenaikan prevalensi merokok anak tidak terkait dengan iklan rokok dan jumlah perokok anak turun, adalah keliru. Berdasarkan sejumlah penelitian, iklan rokok mempengaruhi prevalensi perokok anak, baik yang mengkonsumsi rokok konvensional maupun rokok elektrik. Kedua, terkait klaim jumlah perokok anak turun dari tahun 2018 ke tahun 2019 dan 2020 juga keliru. BPS telah menyatakan bahwa sumber data yang digunakan pada 2018 berbeda dengan 2019 dan 2020 sehingga tidak dapat digunakan sebagai perbandingan.

Tim Cek Fakta Tempo